Seharusnya Selesai Tahun 2018, Mengapa Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Malah Sampai Rogoh Kocek APBN Negara? Begini Ceritanya Sampai Tawaran Jepang yang Murah Malah Ditolak

May N

Editor

Proyek kereta api cepat China
Proyek kereta api cepat China

Intisari - Online.com -Ketika Indonesia memberikan kontrak pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung kepada konsorsium China enam tahun yang lalu, proyek itu seharusnya bisa selesai tahun 2018 tanpa tambahan dana pemerintah Indonesia.

Namun dengan pembangunan terlambat sangat jauh dari jadwal dan biayanya membengkak miliaran dolar, Presiden Joko Widodo memberikan isu 6 September agar APBN dipakai guna mendanai proyek ini.

Hal ini telah menjadi kontras salah satu keuntungan yang membuat Indonesia akhirnya memilih investor China daripada investor Jepang.

Ternyata ada banyak hal yang menyebabkan proyek kereta api cepat ini terlambat sangat lama.

Baca Juga: Dikira Bakal Untung Setelah Ambil Utangan dari China, Terkuak Begini Nasib Negara-negara Miskin yang Terancam Gagal Utang ke China, Konsekuensi Ini Konon Akan Mereka Terima

Mengutip Nikkei Asia, perencanaan awalnya sudah salah terlebih dahulu, yang kemudian menyebabkan gagalnya semua hal yang salah dalam pembangunan proyek ini.

Pengalaman Indonesia ini juga bisa memiliki dampak lebih luas untuk persaingan yang tumbuh untuk membangun infrastruktur di Asia Tenggara.

Terlebih, proyek yang menjadi bagian dari Belt and Road Initiative ini disorot terus oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

China dan Indonesia menandatangani perjanjian pada September 2015 untuk membangunan jalur kereta api 140 km memberikan jalur cepat hanya 45 menit antara Jakarta dan Bandung, dibandingkan waktu perjalanan tiga setengah jam dari kereta api milik PT. KAI.

Baca Juga: Dimulai dari Laos, Jebakan Utang China Lewat Jalur Kereta Ini Terancam Akan Berakhir di Laos Tanpa Ada Kepastian Bisa Menyebar ke Negara Asia Tenggara Lainnya, Karma untuk China?

Awalnya Indonesia memperkirakan konstruksi ini membutuhkan biaya USD 5,5 miliar, tapi proyeksinya ditingkatkan menjadi USD 6,07 miliar Januari tahun ini, 5 tahun sejak proyek mulai dilaksanakan.

Review lebih terbaru dari Kereta Cepat Indonesia China, perusahaan gabungan antara BUMN, perusahaan jalur kereta api China dan operator proyek, mengatakan biaya ini tidak kurang dari USD 7,97 miliar.

Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung telah melampaui anggarannya sampai USD 1,9 miliar, seperti disampaikan seorang pejabat eksekutif di PT KAI dalam rapat parlemen awal September.

KAI mengatakan pembebasan lahan dan biaya konstruksi melebihi perkiraan, sementara penundaan berulang-ulang memakan perkiraan pendapatan.

Baca Juga: Sering Sebut China Tidak Selevel dengan Mereka, Siapa Sangka Justru Segini Banyak Utang Amerika ke China, Benarkah Negeri Paman Sam Sudah Terperosok dalam Jebakan Utang China?

Biaya konsultasi pajak dan finansial juga terus menumpuk, seperti disampaikan PT. KAI.

KCIC seharusnya selesai melakukan pembebasan lahan untuk proyek ini pada akhir 2016, tapi catatan kesalahan yang disimpan oleh otoritas lokal membuat sulit menemukan pemilik sebenarnya.

Jalur kereta juga memerlukan sekitar 30% lebih banyak tanah daripada yang awalnya direncanakan, menyebabkan biaya lebih jauh.

Siapa yang menutup pembengkakan itu juga menjadi masalah besar.

Baca Juga: Bak 'Mencekik' Negara Miskin Afrika Secara Perlahan, Jebakan Utang China Rupanya Punya Maksud Terselubung Terhadap Negara-negara Saingannya Ini

Proyek itu seharusnya didanai 75% dari total biayanya melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), dan sisa dari kas KCIC.

KCIC sendiri 60% dimiliki oleh pihak Indonesia dan 40% dari pihak China.

Namun pihak Indonesia ternyata tidak menyuntikkan uang yang cukup, dan China sekarang menolak menyediakan pinjaman tambahan melalui CDB atau dari perusahaan China lainnya.

Sebelum China mengamankan proyek, Jepang telah mengusulkan membangun jalur kereta bergaya shinkansen dari Jakarta ke Bandung.

Baca Juga: Tak Berguna, Proyek Super Mahal Timor Leste Ini Justru Bikin Negara Masuk Jebakan Utang China

Biayanya sebesar USD 5,29 miliar (600 miliar yen) dengan 450 miliar yen disediakan Jepang lewat pinjaman bantuan pengembangan resmi (ODA) jangka waktu 40 tahun.

Jepang menawarkan pinjaman dengan bunga 0.1%, lebih rendah daripada bunga pinjaman yang biasa, 1%, jika perusahaan Jepang memenangkan kontrak ini.

Namun Jokowi memilih China, karena pada waktu itu China menawarkan pemindahan teknologi kereta api cepat dan menjamin Indonesia tidak akan kehabisan uang atau bebas dari segala pembayaran utang.

Serta, rencana ambisius China untuk menyelesaikan pembangunan tahun 2018, dibandingkan proses penyaringan Jepang yang lama sebelum mulai dibangun, juga menjadi dasar pemilihan Jokowi.

Baca Juga: Mahathir Sudah Berkoar-koar tentang Jebakan Utang China, Nyatanya Kini MalaysiaKian Makin Mesra dengan China, Pejabat yang Berperan dalam Bencana MH370 Ini Dalangnya

"Bagi proyek ODA Jepang, kami melakukan analisis biaya menyeluruh sebelumnya untuk menghindari ada pembengkakan biaya sebelum membangun," ujar pemerintah resmi Jepang dikutip dari Nikkei Asia.

Tokyo meneliti rencana pemerintah penerima untuk mengamankan kebutuhan lahan ketika pinjaman resmi terlibat.

Jalur kereta ini kini 79% komplit, dengan operasi tidak diharapkan mulai sampai akhir 2022, telat dari tanggal 2021 yang dijanjikan Jepang.

Keuntungan yang membuat Jokowi memilih China, yaitu bebas dari pembengkakan biaya, juga telah terbukti gugur, dengan saat ini biaya 40% lebih tinggi dibandingkan biaya yang diajukan dari Jepang dan bahkan Indonesia siap menggunakan APBN untuk mendanai proyek ini.

Baca Juga: Muak dengan Lambatnya Jaringan Internet Indonesia, Menko Airlangga Beberkan Pembangunan Jaringan 5G, Lagi-lagi Digarap Bersama dengan China, Akankah Jadi Jebakan Utang?

Asia Tenggara telah berubah menjadi medan perang bagi pembangunan oleh Jepang dan AS melawan China, kedua pihak memperebutkan pengaruh mereka di wilayah tersebut.

Namun bantuan China dituduh menjadi bahan bakar korupsi lebih besar terjadi di negara-negara berkembang.

Sementara Jepang menekankan bantuan pembangunan yang transparan, kualitas tinggi dan berkelanjutan, negeri sakura kesulitan menguatkan kontrak infrastruktur di Asia Tenggara.

Artikel Terkait