"Jumlah sebenarnya orang yang menghilang diperkirakan beberapa kali adalah 100 ribu," klaim situs organisasi tersebut.
Profesor sosiologi Japanese Society di Oxford University's Nissan Institute, Takehiko Kariya, menjelaskan jika sementara orang-orang menghilang di berbagai negara, ada beberapa faktor yang membuat keberadaan jouhatsu lebih terasa di Jepang.
Selama 20 tahun terakhir, ia mengatakan bahwa sekolah secara resmi memupuk kreativitas dan cara mengekspresikan diri masing-masing individu tapi masyarakat dan tempat kerja tidak menerimanya.
Lulusan baru dapat menemukan mereka di lingkungan kantor yang begitu hierarki diperlakukan tidak lebih baik dari para pegawai yang digaji di tahun 1980-an.
Lebih dari itu, disiplin dan kerjasama di Jepang semakin meningkat dalam 20 tahun terakhir akibat kemacetan ekonomi.
Waktu liburan diperpendek, jam kerja lebih panjang dan permintaan perusahaan terhadap para pegawainya makin tidak masuk akal.
Menurut catatan pemerintah tahun 2016, lebih dari 20% perusahaan Jepang mengatakan para pegawainya bekerja dalam waktu lembur 80 jam lebih per bulannya.
"Semua memperhatikan satu sama lain setiap waktu. Tidak ada jalan keluar, tidak ada cara melarikan diri," ujar Kariya.
KOMENTAR