56 Tahun Kejadian G30S/PKI, Beginilah 4 Taktik yang Dijalankan Soeharto Guna Mengakhiri Kisah Petualangan 'G30S' di Ibukota, Beginilah Kondisi Mencekam di Lubang Buaya

May N

Editor

(ilustrasi) Gerakan 30 September (G30S) dan PKI.
(ilustrasi) Gerakan 30 September (G30S) dan PKI.

Intisari-Online.com -Hari ini adalah 56 tahun peringatan pembantaian G30S/PKI.

Siapa sangka pada 30 September 1965 lalu, kejadian mengerikan itu malah baru diketahui pada 1 Oktober dini hari.

Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 04.30, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Daerah Militer V/Jayakarta dibangunkan oleh telepon dari Inspektur Polisi Hamdan.

Ia adalah ajudan Jenderal Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam/Kasab).

Baca Juga: Kebiadaban G30S/PKI, Tak Ada ‘Pencukilan’ Mata dan Pemotongan Alat Kelamin, Inilah Hasil Sebenarnya Otopsi 7 Perwira TNI AD Korban Gerakan 30 September Berdasarkan Visum

Laporannya mengatakan suatu gerombolan senjata telah menyerbu rumah Pak Nas, menembak-nembak sampai putrinya luka-luka berat dan lalu menculik Lettu Pierre Tendean, ajudan Pak Nas yang lain.

Jenderal Nasution sendiri hilang.

Selanjutnya Jenderal Umar menerima laporan lain: Jenderal Achmad Yani, Haryono MT dan Pandjaitan ditembak lalu dibawa pergi oleh gerombolan bersenjata; Jenderal S. Parman, Suprapto dan Sutoyo Siswomiharjo diculik dari rumah masing-masing.

Kelompok bersenjata itu disebut "G-30-S" yang ingin membangun revolusi dan mencengkeramkan kukunya dalam tubuh Bangsa Indonesia.

Baca Juga: Otoriter dan Tak Sabaran, Kedatangannya Muso Salah Satu Pimpinan Pemberontakan PKI Madiun 198 Justru Bawa Angin Segar Bagi Komunisme Indonesia

Mereka disalahkan membunuh para pahlawan-pahlawan revolusi untuk menebus kebebasan rakyat dari teror yang meningkat.

Hantu-hantu di Lubang Buaya

Namun dua jam sebelum Jenderal Umar menerima laporan-laporan itu, Lubang Buaya sudah disiapkan oleh (eks) Lettu Dul Arief dari Yon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.

Mereka mulai menyiapkan gerombolan senjata.

Gerombolan berisi unsur-unsur dari Yon I Cakrabirawa sendiri dengan unsur-unsur bantuan dari Brigade I Infanteri/Jayakarta, Yon 454 Para/Diponegoro, Yon Para/Brawijaya, PGT/AURI dan 'sukarelawan' Pemuda Rakyat.

Pada jam 02.30 (eks) Lettu Dul Arief memberikan briefing terakhir kepada komandan-komandan kelompok dan di sekitar jam 03.00 - 03.30 mereka berangkat ke kota.

Pada waktu yang hampir bersamaan pula mereka melaksanakan tugas tersebut.

Pengawal di rumah Jenderal Achmad Yani dilucuti senjatanya, sedangkan pengawal tersebut tidak menaruh curiga karena yang mendatangi mereka adalah anggota Resimen Cakrabirawa, yang kemudian memasuki rumah.

Anggota Resimen Cakrabirawa memberitahu anak Pak Yani yang masih terbangun jika ayahnya dipanggil Presiden.

Pak Yani terbangun lalu menemui mereka dan setelah mendengar pesan mereka, ia mandi, tapi mereka tidak setuju dan malah menembaki Pak Yani sampai ia jatuh berlumuran darah.

Baca Juga: Sebelum Menonton Film G30S/PKI, Ini yang Perlu Diketahui Bagi yang Baru Pertama Menyaksikannya, Kata Pakar...

Pak Yani lalu mereka seret dengan kepala di bawah menuju ke jalanan lalu membawa mereka pergi.

Kemudian di rumah Jenderal Suprapto, Deputi II Men/Pangad karena tidak ada pengawalnya, para penculik lebih mudah membawa korbannya.

Pak Prapto tidak curiga dengan kebohongan mereka, tapi begitu ia membuka pintu, beliau diringkus dan dengan paksa dibawa naik truk menuju ke Lubang Buaya.

Parahnya, Pak Prapto bahkan tidak diberi kesempatan berpakaian, sehingga menjelang akhir hidup ia mengenakan baju kaos dan sarung saja.

Modus dipanggil Presiden dipakai juga di rumah Pak Haryono, yang sudah curiga karena sudah menerima informasi ada kemungkinan akan dilakukan pembunuhan politik oleh PKI dan pendukung-pendukungnya .

Namun tidak sampai pikirannya jika akan terjadi pembunuhan tersebut sampai mereka sampai di depan pintu rumahnya.

Beliau menolak untuk pergi. Maka seketika itu juga anggota-anggota gerombolan itu membuka kedoknya dan menembaki pintu kamar yang terkunci sehingga dapat masuk.

Baca Juga: Sampai Didukung China, PKI Menuntut Pemerintah Indonesia untuk Membentuk Angkatan Kelima dengan Tujuan Ini

Di sana mereka menembak mati Pak Haryono yang tidak bersenjata. Jenazah beliau diseret keluar sehingga darah berceceran di sepanjang jalan menuju ke kendaraan.

Seorang anak beliau yang hendak mengejar ayahnya, dipopor sehingga terjatuh di tanah. Ketika ia dapat bangkit, gerombolan itu telah berangkat lagi.

Korban yang berikut menurut urut-urutan jabatan di Angkatan Darat, adalah Jenderal S. Parman, Asisten I Men/Pangad.

Juga beliau mula-mula tidak menaruh kecurigaan, karena beliau memang sering dipanggil ke istana pada waktu-waktu yang luar biasa.

Benar, bahwa beliau pun tahu adanya kemungkinan akan diadakannya percobaan pembunuhan oleh PKI dan pendukung-pendukungnya terhadap tokoh-tokoh Pancasilais-Saptamargais sejati, tetapi menurut beliau timing-nya masih belum tiba.

Beliau baru sadar akan kemungkinan itu ketika melihat telepon beliau dicabut dan diangkut. Tetapi ketika itu sudah terlambat; beliau sudah dikepung dan dibawa ke kendaraan.

Keistimewaan penculikan Pak Parman ialah, bahwa beliau adalah satu-satunya korban yang tiba dalam keadaan hidup di Lubang Buaya dengan berpakaian lengkap.

Baca Juga: Ini Dia Dokumen Rahasia CIA yang Bongkar Pembantaian G30S, Terkuak Inilah Isi di Dalamnya, Benarkah Amerika Ikut Campur di Dalamnya

Pejabat yang berikut adalah Jenderal D.I. Pandjaitan, Asisten IV Men/Pangad. Di sana para durjana itu langsung memakai kekerasan, dan membunuh seorang keponakan Pak Pandjaitan dan melukai seorang lagi.

Kemudian mereka menembaki bagian atas rumah yang bertingkat dua itu dan mengancam akan menghabisi seluruh keluarga Pak Pandjaitan jika beliau tidak mau turun dan tetap hendak mengadakan perlawanan.

Melihat cara-cara kekerasan yang dipakai oleh gerombolan, Ibu Pandjaitan meminta kepada Pak Pandjaitan untuk tidak melawan, dengan pengharapan bahwa suami beliau hanya ditahan.

Pak Pandjaitan menuruti permintaan istri beliau, dan turun ke bawah setelah mengenakan pakaian lengkap dengan tanda pangkat dan satyalencana-satyalencana.

Setiba di bawah, beliau langsung dipukul dengan senjata sehingga jatuh ke tanah lalu diberondong oleh dua orang sehingga benak beliau berceceran di sekitarnya.

Kemudian mereka melempar jenazah itu keluar pagar lalu melontarkannya ke atas truk dan kemudian kembali ke Lubang Buaya.

Sungguh suatu aib yang tiada taranya, bagi ABRI: seorang perwira tinggi dalam uniform lengkap dibunuh secara yang sedemikian keji.

Baca Juga: Pantesan Agan Mata-Mata Israel Mossad Saja Tau Soal Pembantaian PKI, Namun Pilih Bungkam dan Ogah Membocorkannya Karena Alasan Ini

Perwira tinggi berikutnya adalah Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Oditur Jenderal Angkatan Darat.

Juga beliau diseret pergi dalam pakaian tidurnya tanpa diberi kesempatan berpamitan dengan Ibu Sutoyo yang ketika itu sedang sakit.

Sebelum pergi anggota gerombolan itu masih sempat menghancurkan barang-barang pecah-belah yang mereka temui di dalam rumah.

Calon korban yang tertinggi pangkatnya, adalah Jendral Dr. A.H. Nasution. Menko Hankam/Kasab.

Jenderal Nasution berhasil selamat, tapi anaknya menjadi korban dengan luka-luka berat, dan beberapa hari kemudian ia meninggal.

Seorang di antara ajudan-ajudan beliau yang tanpa kecurigaan apa-apa keluar menemui mereka, mereka culik dan mereka bawa ke Lubang Buaya.

Dalam pada itu, sebelum mereka sampai ke rumah Pak Nas, dan melucuti pengawal beliau yang tidak menaruh kecurigaan, mereka telah mencoba pula melucuti pengawal Pak Leimena yang tinggalnya hanya dipisahkan satu rumah.

Seorang pengawal, Ajudan Inspektur Polisi (Anumerta) Karel Satsuitubun mengadakan perlawanan sampai ia gugur kena tembakan gerombolan. Jenazahnya ditinggalkan di pekarangan rumah Pak Leimena.

Para korban yang dibawa ke Lubang Buaya, yang masih hidup, mengalami penganiayaan dan penghinaan-penghinaan oleh segenap anggota gerombolan yang berkemah di sana termasuk beberapa ribu anggota Pemuda Rakyat, Gerwani dan Sobsi yang selama berbulan-bulan telah dilatih dan dipersiapkan di tempat itu.

Akhirnya mereka disudahi nyawanya dan dilemparkan ke dalam sumur tua lalu ditimbun dengan lumpur, sampah, dan daun-daunan.

Baca Juga: Kisah Mbah Suro, Sosok Dukun Sakti yang Diburu Kopassus Pasca Tragedi G30S/PKI, Konon Mampu Bikin Pengikutnya Kebal Senjata

Lakon yang dipersiapkan

Lettu Dul Arief bergerak karena kepentingan dua golongan: golongan 'pembina' dan golongan yang dibina. Para pembina adalah petugas-petugas PKI, dan yang dibina adalah perwira ABRI.

Pembina bernama Sujono, dan ia mengatakan kepada Untung jika tanggal 3 September akan ada rapat di mana dia diperkenalkan dengan (eks) Kolonel Latief, Komandan Brigade I Infantesri/Jayakarta, (eks) Major Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim.

Rapat pada tanggal 3 September 1965 itu merupakan rapat pertama untuk merupakan persiapan terakhir bagi gerakan 1 Oktober 1965.

Yang hadir dari pihak “pembina" adalah: Sam dan Supono (yang menurut eks- Kolonel Latief adalah “pengawal” D.N. Aidit), sedang dari pihak yang dibina adalah: Latief, Untung, Sujono dan tuan rumah (eks) Kapten Wahyudi.

Dalam rapat itu Sam memberi briefing mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang merencanakan suatu kup.

Baca Juga: Trauma G30S/PKI Masih Terasa Bagi Anak Ahmad Yani, yang Sampai Menyendiri Puluhan Tahun demi Hapuskan Luka Pembantaian Ayahnya, Begini Kisahnya

Sam meminta supaya para perwira yang hadir merencanakan sesuatu guna menghalangi rencana “Dewan Jenderal” tersebut.

Rapat yang paling penting karena meletakkan dasar-dasar daripada “G-30-S" adalah rapat tanggal 19 September 1965 bertempat di rumah (eks) Kolonel Latief di Cawang.

Pada rapat itulah Sam menunjuk Untung selaku “pemimpin” daripada “G-30-S".

Ketentuan-ketentuan yang khusus mengenai pencetusan “G-30-S" dilakukan pada dua rapat terakhir.

Pada rapat tanggal 29 September di rumah Sam, tokoh PKI itu memutuskan bahwa komplotan mereka diberi nama “Gerakan 30 September" dan bahwa Hari-H jatuh pada malam keesokan harinya, meskipun Jam-J akan jatuh pada dinihari tanggal 1 Oktober.

Dalam pada itu dalam beberapa rapat sebelumnya kepada (eks) Kolonel Latief telah ditugaskan untuk menyusun rencana operasi.

Menurut rencananya, operasi diberi nama Operasi Takari dan dibagi atas 3 komando:

1. Komando Penculikan dan Penyergapan yang dipimpin oleh Dul Arief dari Cakrabirawa; 2. Komando Penguasaan Kota yang dipimpin oleh (eks) Kapten Suradi dari Brigade I Infanteri/Jayakarta dan 3. Komando Basis yang dipimpin oleh (eks) Major Udara Gatot Sukresno.

Ketiga komando itu bertanggung jawab kepada Central Comando atau Cenco.

Baca Juga: Disebut-sebut Bertanggung Jawab Atas Peristiwa G30S/PKI, DN Aidit Merasa Hanyalah ‘Anak Bawang’, Inilah Dedengkot PKI yang Pernah Bertemu dengan Stalin di Moskow

Pada tanggal 30 September pagi diadakan rapat terakhir di Lubang Buaya. Yang hadir adalah (eks) Brigadir Jenderal Suparjo, Latief, Sujono, (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Gatot Sukresno, (eks) Kapten Kuncoro (Wadan Yon 454 Para), Suradi, Dul Arief, Sugito dan dua orang sipil yang tidak dikenal.

Keputusan-keputusan yang terpenting adalah:

1. Hari-H adalah, tanggal 1 Oktober dan Jam-J adalah jam 04.00.

2. Nama samaran bagi masing-masing komando adalah:

a. Pasopati buat komando Dul Arief;

b. Bimasakti buat komando Suradi

c. Gatotkaca buat komando Gatot Sukresno.

3. Jakarta dibagi atas 6 sektor, yakni:

a. Sektor I (sekitar istana)

b. Sektor II (Jatinegara)

c. Sektor III (Priok)

d. Sektor IV (Kota)

e. Sektor V (Dukuh Atas-Semanggi)

f. Sektor VI (Kebayoran Baru).

Selanjutnya ketika pasukan Pasopati di bawah pimpinan Dul Arief melaksanakan tugas mautnya, para benggolan “G-30-S" baik “pembina"-nya maupun yang dibina terus berkumpul, mula-mula di Lubang Buaya dan kemudian ke gedung film Perusahaan Negara Areal Survei (PENAS) di Jakarta Bypass.

Di sanalah diputuskan untuk mengirimkan delegasi kepada Presiden yang terdiri atas Suparjo, Latief, (eks) Kolonel Udara Heru Atmojo, (eks) Major Sukirno (Dan Yon 454 Para) dan (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para).

Pada waktu itu pula Sam mengajukan draft pengumuman bagian penerangan “G-30-S" yang sudah sama kita kenal.

Baca Juga: Jadi Tameng Ayahnya Saat Peristiwa G30S/PKI, Kalimat Memilukan Ini Meluncur dari Mulut Pahlawan Kecil Ade Irma Suryani, Tepat Sebelum Menghembuskan Napas Terakhir

Setelah disetujui oleh semuanya, naskah itu dikirimkan kepada (eks) Kapten Suradi di RRI untuk disiarkan.

Siarannya jadi dilakukan pada jam 07.20. Kemudian “delegasi" berangkat ke istana, meskipun mula-mula diputuskan bahwa mereka akan berangkat pada jam 06.00 sesudah ada laporan dari Dul Arief mengenai misinya.

Tetapi karena Dul Arief sampai jam itu belum juga datang, telah diputuskan supaya “delegasi" toh berangkat saja.

Baru pada jam 08.00 Dul Arief tiba untuk menyampailkan laporan bahwa semua tugas “terlaksana dengan baik".

Tak lama sesudah laporan itu Sam menjodorkan konsep “Dekrit Pertama" mengenai pendemisioneran Kabinet Dwikora dan penentuah Letnan Kolonel selaku pangkat tertinggi di dalam ABRI.

Konsep itu belum sempat dibahas karena rombongan pindah ke PAU Halim.

Tak lama sesudah itu “delegasi” tiba dari istana dengan tangan hampa. Presiden tidak ada di istana.

Baca Juga: Disebut Sebagai Dalang Peristiwa G30S/PKI, Siapakah Sosok Letkol Untung Sebenarnya, yang Pernah Terima Bintang Jasa dan Karier Militernya Melesat Baik Ini?

Lagipula dari posko istana diperoleh kabar bahwa Jenderal Nasution telah lolos. Seketika itu juga Sam mengatakan, bahwa Jenderal Nasution harus ditangkap.

Untung lalu memerintahkan supaya diambil tindakan-tindakan untuk menangkap Jenderal Nasution.

Siang itu beberapa di antara gembong-gembong “G-30-S" telah berhasil menghadap Presiden di sesuatu tempat di luar istana dan telah melaporkan mengenai tindakan terhadap para Jenderal.

Ketika kembali mereka berkata kepada Untung, bahwa Presiden telah mengangkat Men/Pangad sementara, yakni Major Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Pada jam 15.00 sekali lagi Sam menjodorkan “Dekrit Dewan Revolusi" kepada Untung dll. Setelah ditelaah, “Dekrit" itu ditandatangani oleh Untung, Supardjo dan Heru selaku pimpinan “Dewan Revolusi". (Yang dua orang lagi, yakni Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas Tanumjaya tidak hadir).

Dokumen itu kemudian oleh (eks) Mayor Udara Suyono disuruh dibawa ke RRI untuk disiarkan.

Siang dan sore itu Presiden, yang telah berada di PAU Halim, memanggil beberapa pejabat tinggi negara, yakni Pak Leimena dan Men/Pangal Laksannana Madya E. Martadinata.

Kemudian datang Men/Pangak Irjen Pol. Sucipto Yudodiharjo yang naik pesawat dari Sukabumi. Ketiga pejabat itu menganjurkan kepada Presiden supaya pergi ke Bogor.

Dan pada jam 21.00 Presiden meninggalkan PAU Halim menuju Bogor dengan berkendaraan mobil dan disertai oleh Pak Leimena dan Pak Sucipto Yudodiharjo dengan kawalan satu peleton Cakrabirawa/Polisi dibawah pimpinan Komisaris Polisi Mangi.

Di sekitar tengah malam beliau tiba di Bogor dengan selamat.

Baca Juga: Sisakan Trauma, Begini Momen-momen Menjelang Eksekuti Mati Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun 1948, Puluhan Warga Menggali Lubang Kubur

ABRI beserta rakyat bangkit

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober itu Major Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.

Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.

Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.

Karena kenyataan bahwa dengan hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad terdapat vakum di lingkungan Angkatan Darat, sesuatu hal yang amat berbahaya, Pak Harto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.

Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Pak Harto berpikir cepat dan bertindak cepat.

Baca Juga: Jadi Saksi Bisu Pembantaian G30S, Inilah Rumah Jenderal Ahmad Yani yang Disulap Jadi Museum, Ada Ruangan yang Dilarang untuk Difoto, Alasannya?

Pertama kali diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitai Medan Merdeka.

Pada jam 16.00, Yon 530 Para (minus satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Pak Harto.

Sayang sekali Yon 454 Para dapat terus disalahgunakan oleh “G-30-S" hingga mereka mengundurkan diri ke PAU Halim dan dicerai-beraikan disana oleh RPKAD.

Setelah tahap pertama selesai, Pak Harto segera menyusul dengan tahap kedua, yakni menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.

Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan konsinye: sedapat mungkin menghindarkan pertumpaban darah.

RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.

Dengan terlaksananya tahap kedua itu, Pak Harto segera melaksanakan tahap ketiga, yakni pada jam 20.00 berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.

Baca Juga: Pernah Menjadi Ajudan Jenderal Soedirman, Inilah Letjen R Suprapto, Salah Satu Pahlawan Revolusi Korban Tragedi G30S PKI

Dengan tegas “G-30-S" disebut gerakan kontra-revolusioner. Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G-30-S" adalah siaran-siaran palsu.

Untuk memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S" Pak Harto kemudian melancarkan tahapan keampat.

Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.

Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.

Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G-30-S" di ibukota. Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.

Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948: Musso Bersama Amir dan Kelompoknya Berusaha Kuasai Wilayah Strategis di Jawa Tengah

(Oleh Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966)

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait