Intisari-Online.com- Berikutlatar belakang pemberontakan PKI Madiun 1948 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia.
Peristiwa itu terjadi di Madiun, Jawa Timur, pada pertengahan tahun 1948.
Latar Belakang
Latar belakang terjadinya peristiwa Madiun 1948 adalah jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena tidak lagi mendapat dukungan setelah kesepakatan Perjanjian Renville.
Pihak Amir menganggap bahwa dalam perjanjian tersebut Belanda adalah pihak yang diuntungkan, sedangkan Indonesia pihak yang dirugikan.
Setelah mundurnya Amir dari kebinet, Presiden Soekarno lalu menunjuk Muhammad Hatta sebagai perdana menteri dan membentuk kabinet baru.
Mendapati kondisi ini, Amir tidak sepakat dan kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Dalam menjalankan rencananya Amir tidak sendirian, ia didukung oleh kelompok-kelompok beraliran kiri terutama komunis.
Baca Juga:Muso: Salah Satu Pemimpin Pemberontakan PKI Madiun 1948, Pembawa Amanat dari Moskow
Salah satunya yakni pemimpin PKI, Musso, untuk melakukan pemberontakan di Madiun.
Rencananya tidak hanya Madiun saja, mereka berencana untuk menguasai daerah-daerah strategis seperti Madiun, Solo, dan juga Kediri.
Di Solo mereka merencanakan untuk menculik para tokoh di Solo dan kemudian dibunuh.
Selain itu, mereka juga berencana untuk mengadu domba TNI setempat.
Jalannya Pemberontakan
Hal pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan propaganda antipemerintahan.
Gerakan selanjutnya adalah aksi mogok kerja oleh kaum buruh.
Setelah itu mulai dilakukan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh negara.
Baca Juga:Sejarah Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan PKI Madiun 1948
Adapun tokoh-tokoh yang dibunuh di antaranya ialah Kolonel Sutarto, Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dr. Moewardi.
Puncak dari pemberontakan itu terjadi pada 18 September 1948.
Setelah Madiun ditaklukkan, diumumkan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Penyelesaian
Untuk mengatasi kondisi Madiun yang kacau, pemerintah Indonesia pada 20 September 1948 mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution.
Di bawah komando Kolonel A.H. Nasution pasukan berhasil menumpas para pemberontak.
Baca Juga:Sejarah Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948: Pemimpin, Latar Belakang & Akhir Peristiwa
Amir dan Musso melarikan diri. Musso melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo.
Namun, jejak Musso terdeteksi dan dia ditembak mati.
Amir Syarifuddin dan para tokoh sayap kiri lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Amirdieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.
Di tengah malam, 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.
Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, karya Soe Hok Gie, yang diangkat dari skripsi sarjana strata satu, menggambarkan momen-momen menjelang eksekusi mati itu.
"Amir bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin proses persiapan eksekusi," tulis Soe Hok Gie.
"Mau diapakan mereka (kami)?" "Saya tentara, tunduk perintah, disiplin," jawab sang tentara.
Malam itu, puluhan warga setempat disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 orang tawanan politik pemerintah —termasuk Amir.
Baca Juga: Ringkasan Pemberontakan PKI Madiun 1948: Latar Belakang, Jalannya Pemberontakan, hingga Penyelesaian
Usai lubang digali, pelaksanaan hukuman mati pun dimulai.
Amir Sjarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan, dan anggota politbiro CC PKI, serta ikut mencetuskan Kongres Pemuda II 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda, meminta waktu untuk "menulis surat"— tawanan lainnya melakukan hal yang sama.
Sejarawan Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar di buku itu, menulis bahwa apa yang disebutnya sebagai pemberontakan PKI di Madiun 1948 itu membawa banyak korban, "dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya."
Kematian tragis Amir memang sudah menjadi masa lalu.
"Sejarah," tulis Syafii Maarif dalam kalimat berikutnya," memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan".
"Untuk siapa?" Lanjutnya. "Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati."
Syafii barangkali benar, tapi seperti yang dia tulis di awal, 'Madiun Affair', masih menyisakan residu-residu trauma kolektif - hingga sekarang.
Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.
(*)