Intisari-Online.com -Rusia memiliki sejarah yang bermasalah dan menyakitkan dengan Afghanistan, sebagai akibat dari invasi Uni Soviet ke negara itu pada tahun 1979.
Uni Soviet masuk ke dalam perang berdarah yang berlangsung sembilan tahun dan menelan korban hingga 15.000 personel Soviet.
Perang secara luas dianggap telah mempercepat akhir dari Uni Soviet, setidaknya sebagian, dengan menimbulkan kekecewaan terhadap para penguasanya.
Namun kini, setelah Taliban kembali menguasai Afghanistan, Rusia ingin mempertahankan hubungan dengan negara itu.
Rusia bersikeras akan mencari hubungan yang konstruktif dengan Taliban.
Rusia mengatakan pihaknya perlu mempertahankan "hubungan normal dengan pemerintah Afghanistan mana pun."
Melansir Express.co.uk, Rabu (1/9/2021), Zamir Kabul, Wakil Presiden Khusus untuk Afghanistan, membenarkan bahwa kedutaan Rusia akan terus "beroperasi secara aktif di Kabul."
Dia juga mengatakan masyarakat internasional harus menghormati nilai-nilai budaya dan agama yang ada di negara itu dan bahwa lembaga-lembaga tradisionalnya harus dianggap "demokratis bersyarat."
Komentar Kabul mencerminkan berlanjutnya pelunakan hubungan Moskow dengan Taliban.
Kremlin diam-diam telah membangun jembatan dengan para militan untuk beberapa waktu sekarang, meskipun Taliban masuk dalam daftar teroris dan organisasi terlarang Rusia sejak tahun 2003.
Para pemimpin Taliban juga telah beberapa kali melakukan perjalanan ke Moskow sejak 2018 untuk mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Rusia.
Moskow ingin menjalin hubungan baik dengan Taliban Afghanistan untuk mengamankan perbatasan bagi sekutu Asia Tengahnya dan untuk menghentikan penyebaran terorisme dan perdagangan narkoba.
Bulan lalu, Kremlin dilaporkan menerima jaminan dari pimpinan militan bahwa mereka tidak akan mengancam mitra regional Rusia dan akan terus memerangi ISIS.
Presiden Putin mengatakan dia mengharapkan rezim baru untuk menepati janjinya.
"Penting untuk tidak membiarkan teroris menyebar ke negara-negara tetangga," katanya.
Namun, beberapa ahli Rusia skeptis tentang janji Taliban untuk memulihkan stabilitas di negara itu.
Andrei Kortunov, kepala think tank Dewan Urusan Internasional Rusia, percaya Taliban akan berjuang untuk memaksakan otoritas mereka di seluruh negeri, terutama di utara, dan itu dapat mengancam Rusia dan tetangganya.
"Mungkin, beberapa sel al-Qaeda, mungkin ISIS, yang berbasis di Afghanistan, akan memicu beberapa tindakan di Asia Tengah," katanya kepada BBC.
Selain itu, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin juga membahas Afghanistan pada Rabu (25/8/2021) melalui sambungan telepon.
Surat kabar People's Daily melaporkan, Xi menegaskan kembali posisi China yang tidak ikut campur dan menghormati kedaulatan serta kemerdekaan Afghanistan People's Daily juga mewartakan, Putin mengatakan kepada Xi bahwa Rusia memiliki posisi dan kepentingan yang sama dengan China di Afghanistan.
Moskwa diwartakan siap bekerja sama dengan Beijing untuk melindungi Afghanistan dari intervensi asing dan mencegah pasukan asing “mengganggu dan menghancurkan” negara tersebut.
Xi mendesak semua pihak di Afghanistan untuk membangun kerangka kerja politik yang terbuka dan inklusif, menerapkan kebijakan yang moderat dan stabil, serta memutuskan hubungan dengan semua kelompok teroris.
Putin mengatakan, Rusia juga ingin bekerja sama dengan China untuk memerangi terorisme dan penyelundupan obat-obatan terlarang serta mencegah risiko keamanan yang “meluap” dari Afghanistan.