Intisari-Online.com - Orang-orang masih belum melupakan kekacauan yang terjadi dengan dikuasainya Afghanistan oleh Taliban.
Apalagi bagi warga Afghanistan, mereka masih terus diliputi ketakutan di tempat tinggalnya sendiri.
Banyak warga Afghanistan ingin meninggalkan negaranya demi menyelamatkan diri, yang membuat Bandara Kabul dipenuhi orang-orang.
Bahkan, kepanikan di Bandara Kabul sebagai satu-satunya jalan keluar meninggalkan negara itu pun memakan korban jiwa.
Sementara itu, menurut laporan BBC, pada Selasa (17/8/2021), setelah dikuasainya ibu kota Afghanistan oleh Taliban, jalan-jalan masih kosong, sangat sedikit kendaraan di jalan raya.
Tampaknya pilihan bagi warga Afghanistan, tak lain hanya pergi ke bandara atau tidak meninggalkan rumah sama sekali.
Warga takut dan merasa kondisi dapat berubah menjadi buruk kapan saja, sehingga mereka memilih untuk tetap tinggal di rumah.
Kondisi di tengah kota Kabul tersebut sangat berbeda dengan bandara Kabul, tempat banyak orang berbondong-bondong dan mencoba meninggalkan Afghanistan.
Di mana pun warga Afghanistan berada, baik di bandara maupun di rumah, mereka tetap diliputi ketakutan dan kekhawatiran.
Belum selesai dengan kekacauan di Afghanistan yang memberikan penderitaan bagi warga di sana, kini ancaman konflik baru muncul dari AS dan China.
Baru-baru ini China mengeluarkan ancaman untuk melancarkan perang terhadap Taiwan, buntut kicauan senator AS dari Partai Republik.
Senator AS, John Cornyn yang berasal dari daerah pemilihan Texas berkicau di Twitternya mengenai keberadaan pasukan AS di sejumlah negara, termasuk Taiwan juga disebutkan.
Dia mencontohkan di Korea Selatan, Washington menempatkan 28.000 tentara, kemudian di Jerman 35.486 prajurit.
"Jepang 50.000, Taiwan 30.000, Afrika 7.000. Afghanistan (1-2 bulan lalu) 2.500," kata Cornyn di Twitternya.
Padahal sebagaimana diberitakan The Sun Selasa (17/8/2021), tidak ada pasukan AS di Taiwan sejak 1979 silam.
Sontak saja kicauan Cornyn itu memantik reaksi keras Hu Xijin, pemimpin redaksi media milik pemerintah China Global Times.
Dalam tanggapannya di Twitter, Hu meminta "Negeri Uncle Sam" dan Taipei memberikan penjelasan atas klaim Cornyn.
"Jika benar terdapat 30.000 tentara, kurang atau lebih, maka China bakal melancarkan perang untuk mengusir mereka," katanya.
Dalam dua tahun terakhir, Taipei mengeluhkan "Negeri Panda" yang kerap menggelar latihan militer, bagian dari tekanan agar sistem "satu China" diakui.
Pekan ini, Global Times kembali menampilkan ulasan bahwa Taiwan seharusnya gemetar karena AS takkan melindungi mereka, merujuk apa yang terjadi di Afghanistan, di mana Washington memulangkan pasukan mereka dari sana yang berdampak pada berkuasanya Taliban.
Hubungan China dan Taiwan sendiri memanas sejak naiknya Presiden Tsai Ing-wen pada 2016, yang tidak mengakui konsep "satu China".
Berdasarkan konsep tersebut, Taiwan dilihat sebagai provinsi yang membangkang dan harus disatukan lagi, kalau perlu dengan paksa.
Meski tidak mengakui kedaulatan Taiwan, AS mempertahankan hubungan dengan rutin menyetujui penjualan senjata.
Hal itu pun dikecam China dan membuat hubungan China-AS sendiri terus memanas.
(*)