Intisari-online.com - Bulan lalu, China melakukan pertemuan dengan Taliban, hal ini diungkapkan surat kabar China.
Tak hanya itu, Menteri Luar Negeri Wang Yi berdiri disamping perwakilan Taliban dengan pakaian muslim.
Hal ini sempat menimbulkan kegemparan publik, dan bertanya-tanya apa kepentingan China.
Pada Jumat (15/8/21), Global Times menerbitkan sebuah wawancara dengan pemimpin partai Oposisi di Afghanistan yang mengatakan pemerintahan transisi harus menyertakan Taliban.
Kemenangan Taliban ketika AS menarik diri telah menjadi kenyataan buruk bagi China.
Karena Beijing telah lama memandang ekstremisme agama sebagai kekuatan destabilisasi di Xinjiang.
Ada kekhawatiran bahwa tanah yang dikuasai Taliban akan menjadi tempat untuk menoleransi pasukan separatis dari Cina.
Namun, China memiliki kebijakan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Beijing memperketat kontrol keamanan di Xinjiang, meningkatkan patroli perbatasan di daerah di mana para ahli PBB mengatakan setidaknya 1 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya ditahan.
Namun oleh China disebut sebagai pusat kejuruan untuk menangani separatisme dan ekstremisme Islam.
Namun, China tak kehilangan akal demi memeperkuat posisinya, China telah membuat pertemuan dengan Taliban, meski pertemuan ini tak sepenuhnya bisa mengantisipasi hal terburuk tersebut.
Pertemuan Menteri Luar Negeri Wang Yi dan perwakilan Taliban di Tianjin bulan lalu menyusul kunjungan serupa oleh delegasi Taliban pada 2019.
Tetapi kali ini terjadi ketika Taliban jauh lebih kuat, Wang Yi mengatakan dia berharap Taliban akan menerapkan "kebijakan Islam moderat".
Untuk menangani hubungan dengan Taliban, China yang semakin kuat dapat memanfaatkan fakta bahwa Beijing tidak pernah berperang dengan kekuatan tersebut, tidak seperti Rusia atau Amerika Serikat.
Ketika Taliban memerintah dari 1996-2001, China menangguhkan hubungan dengan Afghanistan, menarik semua perwakilan diplomatik pada 1993 ketika perang saudara pecah.
"Ini pragmatis. Bagaimana Anda mengatur negara Anda sebagian besar adalah urusan Anda sendiri, jangan biarkan hal itu mempengaruhi China," kata Lin Minwang, pakar Asia Tenggara di Universitas Fudan di Shanghai, kepada Reuters.
"Ketika kekuatan besar di Asia seperti China mengakui legitimasi Taliban dengan bertemu dengan mereka secara terbuka, Taliban menerima kemenangan diplomatik besar," kata Lin.
Media pemerintah China minggu ini menerbitkan setidaknya dua analisis yang menyoroti bahwa Afghanistan telah menjadi "kuburan kekaisaran" dan memperingatkan China untuk tidak terjebak dalam "permainan kekaisaran.
Menekankan pesan tersebut adalah bahwa China tidak berniat mengirim pasukan ke Afghanistan atau ilusi bahwa itu akan mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat.
Setelah bertemu dengan Wang, perwakilan Taliban menyatakan harapan bahwa China dapat memainkan peran ekonomi yang lebih besar di negara tersebut.
"Ini menunjukkan bahwa China mungkin telah menjanjikan bantuan ekonomi dan investasi di Afghanistan pascaperang, untuk mendorong kedua belah pihak berhenti berperang dan mencapai penyelesaian politik," kata Zhang Li, seorang profesor Asia Tenggara di Universitas Sichuan.
Risiko yang dihadapi China ketika situasi regional tidak stabil ditunjukkan dalam kasus 13 orang baru-baru ini, termasuk 9 warga negara China, kehilangan nyawa mereka di Pakistan dalam serangan bunuh diri baru-baru ini di sebuah bus.
China sedang melaksanakan proyek infrastruktur besar di Pakistan di bawah kerangka inisiatif Sabuk dan Jalan.
"Prioritas nomor satu China adalah menghentikan permusuhan, karena kekacauan melahirkan terorisme dan ekstremisme agama," kata Zhang.