Inilah sejarah PPN di Indonesia, yang per 1 Januari 2025 nanti akan naik menjadi 12 persen. Banyak penolakan di sana-sini.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Per 1 Januari 2025, Pajak Pertambangan Nilai (PPN) 12 persen akan berlaku. Seperti kita tahu, penetapan dan kenaikan ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
Di luar itu, alangkah baiknya kita tahu sejarah PPN di Indonesia, berikut kronologi kenaikannya menjadi 12 persen.
PPN merupakan salah satu sumberpemasukan negara atas konsumsi masyarakat. Mengutip Gramedia.com, PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli yang terjadi karena adanya pertambahan nilai. Pungutan tersebut dibebankan pengusaha yang sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sederhananya, ketika Anda membeli barang atau jasa, Andaakan dipungut beberapa rupiah atas transaksi tersebut. Hal itu karena barang atau jasa yang Anda beli dianggap memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya dari seller ke konsumen.
Masih dari sumber yang sama, yang membar PPN adalah pembeli terakhir. Lalu yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN ke negara adalah penjual/pedagang. Yang juga harus dipahami, PPN tidak masuk ke kantong penjual tapi masuk ke kas negara.
PPN sendiri adalahpajak yang tidak langsung.
Sejarah
Dulu, sejatinya sebelum ada PPN sudah ada pungutan pajak atas konsumsi, meskipun hanya berlaku untuk beberapa produk. Misalnyapungutan cukai untuk produk tembakau dan alkohol. Selain dua itu, akan dikenakan pajak tidak langsung lainnya, yakni pajak penjualan dan pajak peredaran.
Harap dicatat, PPN tidak hanya ada di Indonesia ya.
Gagasan PPN muncul dari seorang pengusaha asal Jerman bernama Dr. Wilhelm von Siemens setelah melihat adanyamasalah dari penerapan pajak peredaran. Dalam sebuah tulisan yang terbit pada 1920, dia menyebutnya sebagai perbaikan pajak peredaran atau penyempurnaan pajak peredaran.
Tokoh lain yang mencetuskan PPN adalahThomas S. Adams dari Amerika Serikat pada tahun 1921. Konsepnya menjelaskan bagaimana cara mengurangi pajak penjualan dengan pajak yang sebelumnya telah dibayarkan. Tujuannya adalah untuk mengurangi cascading effect alias pajak di atas pajak.
Meski begitu, negara pertama yang menerapkan PPN adalah Prancis alih-alih Jerman atau Amerika Serikat. Itu terjadi pada 1948. Lalu pada1954, Prancis mengubah kebijakan perpajakan di negaranya. PPN yang awalnya hanya untuk tahap pabrikan kemudian dikenakan di setiap tahap produksi dan distribusi.
Jika negara-negara maju di Eropa sudah mulai menerapkan sistem itu pada 1960 hingga 1970-an, negara-negara berkembang baru memberlakukannya pada 1980-an -- termasuk, tentu saja, Indonesia.
Indonesia sendiri, sebelum ada PPN, ada yang namanyaPajak Pembangunan I (PPb I) dan Pajak Peredaran (PPe), di mana kiblatnya masih menggunakan praktik-praktik kolonial Belanda.
"Dalam rangka program reformasi sistem perpajakan Nasional tahun 1983, UU Pajak Penjualan 1951 diganti dengan UU Nomor 8 Tahun 1983 yang dinamakan UU PPN 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 1 April 1985," tulis Hari Sugiharto dalam modul berjudul "Karakteristik PPN Indonesia dan Sejarah Pengenalan PPN sebagai Pajak atas Konsumsi" yang diunggah di Repository.ut.ac.id.
Dalam modul tersebut, Hari juga membangi perkembangan pemberlakuan PPN menjadi empat periode: Periode 1 April-akhir Desember 1994, periode 1 Januari 1995-akhir Desember 2000, 1 Januari 2001-akhir Maret 2010, dan periode April 2010.
Ada beberapa tujuan diterapkannya UU PPN. Di antaranya:
-Menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan sederhana.
- Meningkatkan pemasukan negara.
- Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan.
- Mengamankan pemasukan negara agar dapat melakukan pembangunan nasional secara mandiri.
Ada beberapa karakteristik PPN, di antaranya:
- PPN merupakan salah satu contoh pajak tidak langsung. Maksudnya, pembayar pajak (konsumen akhir) dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pajak (penjual) dilakukan oleh orang yang berbeda.
- Objektif karena besarnya pajak yang harus dibayarkan disesuaikan dengan objek pajak (barang dan jasa yang ditransaksikan), bukan bergantung pada subjek pajaknya (siapa pembayar pajak).
- Multi stage tax karena pajak dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi sejak keluar dari pabrik.
- Menggunakan faktur.
- Dipungut atas dasar konsumsi dalam negeri.
- Menghindari double tax karena PPN hanya dikenakan pada pertambahan nilai saja.
- Nonduplikasi karena terdapat mekanisme perkreditan pajak masukan.
- Perhitungan PPN menggunakan cara pengurangan tidak langsung dengan memperhitungkan besarnya pajak masukan dan pajak keluaran.
Harap dicatat, tidak semua barang dan jasa dikenai PPN. Apa saja?
1. Barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh sangat banyak orang.
Seperti:Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar yang tanpa diolah tetapi telah melalui proses disembelih, telur yang tidak diolah, susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, buah-buahan segar yang dipetik, sayur-sayuran segar, dll.
2. Makanan dan minuman yang dihidangkan di restoran, hotel, rumah makan, warung, atau sejenisnya. Hal ini juga meliputi makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat atau dibawa pulang, termasuk makanan yang diserahkan oleh perusahaan jasa boga atau catering.
3. Hasil penambangan atau pengeboran yang langsung diambil dari sumbernya.
Seperti: minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, dll.
4. Emas batangan, uang, dan surat berharga.
Sementara jasa yang tidak dikenai PPN adalahJasa layanan sosial, jasa layanan kesehatan medis, jasa finance atau keuangan, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa kerohanian atau keagamaan, jasa edukasi atau pendidikan, jasa hiburan dan kesenian, jasa penyiaran yang tidak digunakan untuk iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa ketenagakerjaan, jasa di bidang perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan tujuan untuk menjalankan jalannya pemerintahan secara umum, jasa yang menyediakan tempat parker, jasa telepon umum yang menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang yang menggunakan wesel pos, dan jasa catering atau boga.
Kenapa PPN harus ada?
Konsep dasar PPN adalah pajak dari setiap konsumsi atas barang atau jasa kena pajak. Sebagian besar barang atau jasa yang kita konsumsi dikenai pajak. Jika dikumpulkan, akan kita temukan dana yang cukup besar diterima oleh negara. PPN merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang tertinggi nilainya.
Sejauh ini,PPN dan pajak lainnya digunakan pemerintah untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti:
- Pembangunan sarana dan prasarana umum. Seperti jembatan, sekolah, rumah sakit, puskesmas, taman, tempat wisata, perumahan, jalan dan jalan tol, bandara, pelabuhan, terminal, dan lain-lain.
- Pertahanan dan keamanan negara. Seperti persenjataan, alutsista, pelatihan, armada transportasi, seragam, pembangunan gedung, dan sebagainya.
- Pendidikan. Berupa beasiswa, pemberian subsidi, pengadaan buku perpustakaan, pengadaan alat-alat, laboratorium, dan sebagainya.
- Transportasi massal untuk beroperasinya Bus Damri, kereta api, dan pesawat.
- Gaji dan tunjangan Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
- Kelestarian Lingkungan Hidup. Seperti perawatan hutan, pembibitan hutan setelah dimanfaatkan kayunya, dan sebagainya.
- Pertanian dan Perikanan. Seperti edukasi kepada petani, bantuan pupuk, bantuan perahu, dan sebagainya.
- Pariwisata. Seperti pembangunan tempat-tempat wisata.
- Koperasi dan UMKM. Seperti bantuan dana hibah untuk pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
- Membayar utang negara.
- Dan lain sebagainya.
Yang perlu kamu ketahui tentang kenaikan PPN 12 persen
Keputusan kenaikan PPN 12 mendapat penolakan banyak kalangan, termasuk partai politik. Dalam hal ini, PDI Perjuangan termasuk yang paling keras menolaknya.
Terkait hal itu,Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengaku heran dengan respons kritis PDI-P atas rencana kenaikan ini. Dia bilang, pembahasan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menjadi landasan kenaikan PPN 12 persen, justru dikomandoi oleh Fraksi PDI-P.
Ketika itukader PDI-P, Dolfie Othniel Frederic Palit, ditunjuk menjadi ketua panjanya. Itulah yang membuat kenopanakn Presiden RI Prabowo Subianto itu heran ketika ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen.
Dia juga mengaku banyakanggota partainya yang hanya bisa senyum dan geleng-geleng tertawa mendengar respons kritis PDIP. "Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," lanjut dia.
Sementara itu,Dolfie berdalih bahwa pembahasan revisi UU HPP merupakan usul inisiatif pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. "UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi yang disampaikan ke DPR pada 5 Mei 2021," kata Dolfie kepada Kompas.com, Minggu (22/12/2024).
Seluruh fraksi, lanjutnya, kemudian setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Ketika itu Jokowi masih menyandang status kader PDI Perjuangan.
Dari laporan Dolfie, pembahasan revisi UU tersebut terbilang cepat, yaitu hanya berlangsung selama lima bulan hingga disahkan pada 7 Oktober 2021.
Mengutip Kompas.com,Jokowi mengirimkan surat presiden bernomor R-21/Pres/05/2021 pada 5 Mei 2021. Surat itu kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR RI dengan menerbitkan surat nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021.
Ketika itu UU HPP masih menggunakan nomenklatur Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebab, UU HPP merupakan revisi kelima dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP.
Pada 28 Juni 2021, Komisi XI memulai pembahasan Revisi UU KUP bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM dengan agenda membentuk panitia kerja (panja). Setelahnya, Komisi XI DPR RI melanjutkan pendalaman, perumusan, dan sinkronisasi terkaiu RUU itu.
Dolfie mengeklaim DPR juga sudah melakukan rapat dengar pendapat dari akademisi, praktisi, pakar, maupun pengamat. "Lembaga yang dilibatkan dalam penggalian informasi dan keilmuan melalui rapat dengar pendapat ini di antaranya KADIN, HIPMI, APRINDO, Asosiasi Ekspor Impor, Asosiasi Pendidikan, Asosiasi Keagamaan, dan Asosiasi Kesehatan, HIMBARA, Perbanas, Asbisindo, Asosiasi BPR, Asosiasi Buruh, YLKI, HKTI, dan Asosiasi Pedagang Pasar," tulis laporan yang dibacakan Dolfie.
Dari berbagai rapat itu, disepakati perubahan nomenklatur menjadi Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta memuat aturan yang membuat PPN naik 12 persen di tahun 2025.
Pada 29 September 2021, ditetapkan bahwa RUU HPP akan dibawa ke rapat paripurna untuk diketok menjadi undang-undang. Tercatat sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR setuju dengan revisi UU HPP yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP. Hanya PKS yang menolak revisi tersebut.
RUU HPP pun resmi ditetapkan DPR menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna pada 7 Oktober 2021. Rapat saat itu dihadiri 120 anggota dan 327 anggota secara virtual.
Adapun UU HPP mengubah dan menambah regulasi terkait perpajakan. Beberapa di antaranya yakni mengubah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh).
Kemudian, mengubah UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Lalu, mengatur program pengungkapan sukarela Wajib Pajak, mengatur pajak karbon, dan mengubah UU terkait cukai.
Tujuan pembentukan UU ini diklaim untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara.
Juga diklaim akan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, mereformasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Berdasarkan UU HPP, kenaikan tarif PPN diatur dalam Pasal 7 yang menyebut PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Dalam UU HPP Pasal 4A, barang yang tidak terkena pajak meliputi makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, uang, emas batangan, hingga barang kebutuhan pokok.
Sejumlah jasa juga dibebaskan dari PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempat parkir, katering, keuangan, hingga pendidikan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif PPN 12 persen khusus untuk barang dan jasa mewah. Menurutnya, barang dan jasa mewah ini dikonsumsi oleh penduduk terkaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9-10.
Barang dan jasa mewah yang akan dikenai PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah Rumah Sakit kelas VIP atau pelayanan kesehatan premium lainnya; Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium lainnya; Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA.
Ada juga beras premium; buah-buahan premium; ikan premium, seperti salmon dan tuna udang dan crustasea premium seperti king crab; daging premium, seperti wagyu atau kobe yang harganya jutaan.
Sementara barang yang tidak kena PPN 12 persen yaitu beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan gembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, serta gula pasir.
Itulah beberapa hal yang perlu kamu tahu tentang kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Semoga bermanfaat.