Advertorial
Intisari-Online.com -Beberapa hari belakangan ini Indonesia digemparkan oleh rencana sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio.
Penyerahan simbolis sumbangan tersebut sendiri dilakukan salah satu anak Akidi Tio, Heriyanti, kepada Kapolda Sumateran Selatan Irjen Eko Indra Heri, Senin (26/7/2021)
Namun, hingga hari yang sudah disepakati yaitu Senin (2/8/2021), sumbangan tersebut tak kunjung terealisasi.
Bahkan setelah ditelusuri olehPenelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), diketahui bahwa jumlah uang yang tersimpan di rekeningHeriyanti tak sampai Rp2 triliun.
"Dalam perjalanannya, kita melihat bahwa ini ada inkonsistensi yang sangat besar antara penyumbang dengan uang sumbangannya karena aktivitas rekening yang dimiliki Heriyanti dan pihak terkait lainnya itu bisa dikatakan sangat rendah, jauh dari Rp 2 triliun," ujar Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Rabu (4/8/2021).
Heritanti pun kini harus berurusan dengan polisi untuk menjelaskan mengenai motif dariprank yang dilakukannya tersebut.
Sementara itu Eko yang sempat menjalani pemeriksaan oleh tim Mabes Polri terkaitprank sumbangan tersebut pun secara khusus menyatakan permintaan maafnya.
"Kepada seluruh masyarakat Indonesia, Kapolri, para anggota Polri se-Indonesia, juga masyarakat Sumsel, terutama tokoh masyarakat Sumsel kepada Forkopimda, Gubernur, Pangdam, Danrem, dan yang lain juga dilibatkan langsung dalam acara kemarin. Sebagai pribadi dan Kapolda Sumsel, saya mohon maaf atas kegaduhan ini," ungkapnya, seperti dikutip darikompas.com.
Wajar untuk dibilang sebagai 'kegaduhan', sebab bukan hanya warga Sumsel yang menjadi korbanprank tersebut, tapi juga seluruh Indonesia.
Sebuah kondisi yang mengingatkan kita padaprank yang pernah terjadi saat penyerbuan kelompok teroris di sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam peristiwa yang mengubah drama penyerbuan yang menegangkan menjadi sebuah kelucuan tersebut, satu Indonesia juga menjadi korbanprank.
Bagaimana itu bisa terjadi? Berikut ini kisahnya.
Saat itu, 7-8 Agustus 2009, terjadi sebuah peristiwa penyerbuan rumah teroris selama lebih dari 17 jam.
Tim Densus 88 kala itu bergerak untuk mengepung sebuah rumah berbatu bata tanpa plester di dindingnya.
Penyerbuan diawali oleh informasi bahwa dilokasi tersebut, teroris yang menjadi buruan utama yaituNoordin Mohammad Top bersembunyi.
Meski sudah menerjukna Tim Pemukul yang beranggotakan 15 orang yang terdiri dari Gegana dan Sniper, Densus 88 harus berhati-hati sebelum menyerbu.
Sasaran mereka tidak hanya menyimpan senjata api tapi juga bahan peledak yang tidak diketahui kekuatannya.
Tak ayal kedua belah pihak pun pada akhirnya saling serang hingga beberapa kali menimbulkan suara letusan senjata yang menambah tegang kondisi.
Saat baku tembak terjadi, salah satu pelaku teroris di rumah tersebut berteriak "Saya Noordin" ketika ditanya polisi tentang siapa sosok yang diincarnya.
Teriakan tersebut ternyata didengar dengan jelas tak hanya oleh pihak polisi tapi juga oleh wartawan yang meliput.
Wartawan harian Kompas, Sarie Febriane dalam tulisannya diKompas.Idyang berjudul "Saya Noordin!”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi menuturkan bahwa media langsung menelan mentah-mentah apa yang mereka dengar.
Hampir seluruh media massa, termasuk televisi yang menyiarkan penyerbuan tersebut secara langsung, menyebut bahwa Noordin M Top berhasil dilumpuhkan di Temanggung.
Media-media luar, seperti Al Jazeera, The Strait Times, Reuters, hingga ABC Online pun, disebut Sarie, sama-sama menyebut bahwa Noordin M Top berhasil ditangkap mati.
Namun, karena informasi A1 di pihak kepolisian belum berani memastikan, Sarie pun memutuskan untuk memilih "Noordin Belum Terkonfirmasi" dalam artikelnya.
”Kamu mau percaya saya atau TV?! Yang besar (sasaran operasinya) bukan di sana (Temanggung). Kamu tetap stay di Jakarta, tunggu telepon (saya) malam ini,” tulis Sarie mengulang ucapan salah satu informannya di Satgas Antiteror.
Singkat cerita, setelah berhari-hari digembar-gemborkan sebagai Noordin M Top, jasad teroris yang dilumpuhkan di Temanggung justru dipastikan sebagai Ibrohim oleh Mabes Polri (12/8/2009).
Dus, usai pengumuman tersebut, media massa pun kompak melakukan klarifikasi beritanya yang terpicu oleh teriakan "Saya Noordin!" tersebut.
Sarie bahkan mengisahkan saat itu salah satu rekannya sampai menyebut bahwa hari itu sebagai "hari ralat nasional".
"Mungkin jika terjadi di masa sekarang, saya akan menyimpulkan pula peristiwa itu sebagai 'hari prank sedunia' ketika media nasional sampai internasional kena prank oleh si Ibrohim," tulis Sarie.
Noordin M Top sendiri tewas dalamsergapan Densus 88 di Kampung Kepuh Sari RT 3/RW 11, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, pada 17 September 2009.
Satu bulan setelah salah seorang anak buahnya membuatprankyang dipercaya olehhampir seluruh media dan masyarakat di Indonesia.