Intisari-Online.com – Akhir Juli lalu bangsa Indonesia dikejutkan dengan berita, keluarga pengusaha lokal asal Aceh, Akidi Tio, menyumbang sebanyak Rp2 Triliun untuk bantuan Covid-19.
Anak bungsu Akidi Tio, Heriyanti Tio, menyambangi Mapolda Sumatera Selatan pada 26 Juli 2021, untuk menyerahkan bantuan secara simbolis kepada Kapolda Sumsel, Irjen Pol. Eko Indra Heri.
Namun, hingga sekarang, bantuan yang dijanjikan tersebut, melansir dari kompas.com, belum juga diturunkan.
Rupanya kasus sumbangan 2 triliun yang menyeruak ke publik selama sepekan terakhir ini, banyak membuat orang pusing, sakit kepala, dan pening memikirkannya kapan pencairannya?
Dan ini bisa jadi membuat obat sakit kepala sontak hilang di pasaran.
Kok ya bisa-bisanya, di tengah deraan Covid-19 yang menghimpit kehidupan rakyat, masih ada orang yang tega membodohi rakyat.
Kisah sumbangan 2 triliun yang menyeruak di Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu, kini pelan-pelan kian terkuak.
Bak sebuah sandiwara yang penuh dengan kesimpangsiuran, ketidakbenaran, dan terdapat aroma penipuan.
Yang paling ironis adalah rakyat banyak yang ditipu berkali-kali karena janji pencairan tidak direalisasikan, dan bukan orang per orang.
Semakin ironis lagi, sebagaimana yang lalu-lalu, sejumlah pejabat pun ikut menari, mengikuti irama gendang para pemberi janji itu.
Maka makin lengkaplah babak sandiwara pembodohan terhadap rakyat.
Kesinambungan Masa Silam
Mungkin Anda ingat peristiwa pada tahun 2018, ketika Sulawesi Tengah diterjang oleh bencana likuifaksi.
Di tahun yang sama, Nusa Tenggara Barat porak poranda karena bencana alam. Rakyat menjadi korban bencana alam.
Seorang konglomerat besar tiba-tiba datang berkunjung, menunjukkan empati. Ia disambut hangat oleh para pejabat negara di daerah.
Diberitakan oleh berbagai media ketika itu, bahwa ia menjanjikan akan mengordinir para pebisnis besar untuk mengumpulkan uang sebanyak Rp2 triliun untuk kedua provinsi tersebut.
Sementara, konglomerat itu sendiri, akan mengeluarkan Rp 100 miliar rupiah dari kantongnya.
Hebat. Tepuk tangan. Rasa kagum membuncah. Setahun sudah janji itu berlalu.
Namun, realisasi tak kunjung datang. Rakyat di kedua provinsi tersebut mendesak dan menggugat pemerintah daerah.
Karna tak mau dituding dan direcoki oleh rakyat yang terlanjur menerima janji, Gubernur Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, pada bulan Juli dan Agustus tahun 2019, menyurati pemberi janji, menagih segala yang dijanjikan di depan publik.
Maka, kedua Gubernur tersebut secara eksplisit menagih 1.500 rumah hunian, untuk masing-masing provinsi dan pembangunan pasar basah.
Mendapat tagihan, pemberi janji mengatakan dalam surat bahwa ia tidak pernah menjanjikan pembangunan 1.500 unit rumah di Palu.
Ia hanya mengirimkan Rp 5 miliar rupiah untuk membangun kembali 100 rumah, yang nilainya 50 juta rupiah per rumah.
Selain Rp 5 miliar rupiah tersebut, pemberi janji tadi datang dengan pesawat pribadi membawa makanan cepat saji, untuk dibagikan ke rakyat.
Sangat empatik dengan inisiatif membagi-bagi makanan cepat saji tersebut.
Namun, tetap saja, janji mengeluarkan Rp100 miliar tak kunjung datang.
Bagaimana janji 2 triliun lantas seperti terbang. Singkat ceritera, yang Rp 2 triliun itu tidak pernah ada.
Kini, sama dengan nihilnya janji Rp 2 triliun Akidi Tio ke masyarakat di Sumatera Selatan.
Pemberi janji, boleh-boleh saja menyangkali janji-janji itu. Apalagi penyangkalan tersebut dilakukan dengan surat.
Bagaimana dengan ucapannya yang dimuat di media massa?
Apakah ia sebaiknya juga menyangkalinya melalui media massa. Biar tidak terbebani. Biar semuanya jadi jelas. Tidak dengan bisik berbisik. Tidak dengan gunjingan.
Selain itu, pemberi janji sebaiknya menjelaskan ke publik melalui media mengapa ia tak bisa menghadirkan Rp 2 triliun itu.
Misalnya, sulit mengumpulkan para konglomerat. Ataukah ada alasan lain.
Demikianlah, pelik memang hidup di era digital sekarang. Segala ucapan dan gerak gerik badan, tersimpan dengan jejak jelas.
Pelik menganulirnya. Lagi pula, penyangkalan pemberi janji tersebut muncul setahun kemudian, setelah ia ditagih.
Apa Konsekuensinya?
Apa konsekuensi yuridis dari janji-janji ke publik tersebut?
Tentu ada yang mengatakan, janji bukan utang piutang, yang bila tidak dipenuhi, bisa dianggap wanprestasi (ingkar).
Malah, mungkin ada yang berkata, syukurlah kalian sempat saya beri janji.
Hukum Perdata kita jelas mengatakan, perjanjian itu tidak harus tertulis.
Perjanjian dapat berupa perjanjian cuma-cuma, yakni, hanya pihak yang diberilah yang beruntung, dan perjanjian atas beban, yang berarti, pemberi janji dan yang diberi janji, secara timbal balik mendapatkan keuntungan.
Lalu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat semua pihak (pemberi janji dan yang diberi janji), sama dengan undang-undang.
Masih kata undang-undang lagi, sahnya sebuah perjanjian, antara lain, adalah kesepakatan, semua pihak cakap untuk berbuat, perjanjian tersebut mengenai suatu hal.
Semua persyaratan ini terpenuhi, karena baik pemberi janji, maupun rakyat, dua-duanya sepakat, cakap dan mereka sepakat tentang adanya uang.
Karena itu semua, manakala janji tidak dipenuhi, maka pihak yang diberi janji boleh menuntut adanya ganti rugi plus bunga.
Sementara, dari perspektif pidana, juga sangat jelas.
Setiap orang yang menyebarkan berita bohong dan menimbulkan kehebohan, itu bisa dipidana.
Berjanji tanpa mewujudkannya, bisa dianggap menyebarkan berita bohong.
Bila janji tidak dipenuhi, perlu memberi penjelasan kepada pihak yang diberi janji.
Persoalan yuridis dalam hal berjanji adalah satu hal, persoalan etis dan moral dalam hal berjanji ke rakyat dan tidak dipenuhi, adalah persoalan lain.
Apalagi, bila rakyat sedang ditindis oleh masalah. Menjanji mereka tanpa ada ikhtiar memenuhinya, sama dengan mencederai dan mengolok-olok rakyat.
Hukuman pidana boleh dihitung dengan jumlah tahun yang dijalani. Hukuman perdata dapat ditaksir dengan jumlah uang yang harus dilunasi.
Akan tetapi, hukuman sosial, tidak ada tepiannya, baik segi ukuran waktu, maupun ukuran nominal.
Dalam banyak hal, anak turunan pun yang tidak ada kaitannya dengan kesalahan orangtua, ikut menanggung kesalahan orangtua mereka.
Hukuman sosial bisa saja dalam bentuk boikot sosial, tidak mau menggunakan apa pun yang berikaitan dengan orang yang dibenci masyarakat.
Bisa juga dalam bentuk membelakangi dan menyisihkan orang tersebut. Dan sebagainya.
Lantaran Covid-19, saya banyak tinggal di rumah, menonton berbagai film silat Mandarin.
Dari film tersebut, saya menemukan filsafat China: “Satu kata yang keluar dari mulut, sama nilainya dengan seribu ons emas. Bila kata sudah terucap, maka alat dengan kecepatan apa pun, tak ada yang bisa mengejarnya.”
Ajaran Kong Hu Chu menegaskan, “Mengukur seseorang, lihatlah dari apa yang dilakukannya, budi yang ditanamkannya, dan kata-kata yang diucapkannya.” (Wisnu Nugroho)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari