Intisari-Online.com - Pagi-pagi sekali, pasukan Indonesia melancarkan invasi besar-besaran ke bekas separuh Portugis di pulau Timor, yang terletak di dekat Australia di Laut Timor.
Portugis meninggalkan Timor Leste pada bulan Agustus 1975, dan pasukan Indonesia segera mulai menyusup ke perbatasan dari Timor Barat Indonesia.
Pada tanggal 28 November, pemerintah Timor Leste yang terpilih secara demokratis, karena takut akan invasi Indonesia yang akan segera terjadi, memproklamasikan Republik Demokratik Timor Leste.
Pada pagi hari tanggal 7 Desember, Indonesia merespons dengan memulai pemboman laut kota Dili, diikuti dengan pendaratan pasukan terjun payung dari udara dan marinir di pantai.
Pada tanggal 10 Desember, pasukan invasi kedua merebut kota terbesar kedua, Baucau.
Di tempat lain, perlawanan orang Timor berlanjut.
Tetapi pada tahun 1978 pencaplokan Timor Leste oleh Indonesia pada dasarnya selesai.
Selama tahun-tahun awal invasi dan pendudukan Indonesia, lebih dari 100.000 orang Timor Leste tewas sebagai akibat langsung dari konflik tersebut.
Sebagian besar yang tewas adalah warga sipil yang dibunuh oleh militer atau mati kelaparan di kamp-kamp interniran atau saat bersembunyi di perbukitan dari tentara Indonesia.
Kelompok-kelompok kecil gerilyawan Timor Leste melanjutkan perlawanan mereka selama beberapa dekade.
Pada tahun 1996, Jose Ramos-Horta dan Uskup Carlos Ximenes Belo bersama-sama dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas upaya mereka memenangkan kemerdekaan bagi Timor Leste.
Diktator Indonesia Soeharto, yang telah memerintahkan invasi 1975, digulingkan dari kekuasaan pada tahun 1998, dan rakyat Timor Leste memperbarui seruan mereka untuk merdeka.
Pada tahun 1999, rakyat Timor Leste memilih kemerdekaan dalam referendum, yang menyebabkan serangan berdarah oleh pasukan milisi Indonesia.
Pasukan penjaga perdamaian PBB yang dipimpin Australia dikerahkan untuk menghentikan kekerasan, dan pada Agustus 2001 Timor Lorosa'e mengadakan pemilihan demokratis pertamanya untuk membentuk pemerintahan otonom.
(*)