Intisari-Online.com - Terjadi perlawanan rakyat Bali yang dikenal sebagai 'Puputan Margarana' usai isi Perjanjian Linggarjati ditandatangani.
Tidak masuknya Bali ke dalam wilayah Rebublik Indonesia yang diakui Belanda dalam perjanjian tersebut menimbulkan kekecewaan rakyat Bali.
Dalam Perjanjian Linggarjati, Belanda hanya mengakui secara de facto Jawa, Madura, dan Sumatera sebagai Republik Indonesia.
Belanda pun harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1949.
Selain itu, Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Nantinya, Negara Republik Indonesia akan menjadi salah satu negara bagian RIS.
Sementara itu, Belanda berambisi untuk membuat Negara Indonesia Timur, di mana hal ini ditentang oleh I Gusti Ngurah Rai.
Terjadilah perang 'Puputan Margarana', sebuah perang habis-habisan oleh I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya.
I Gusti Ngurah Rai wafat bersama pasukannya yang bernama 'Ciung Wanara' dalam Pertempuran Margarana.
Ketika memimpin pertempuran Margarana melawan Belanda, ia merupakan kepala dari divisi Sunda Kecil.
I Gusti Ngurah Rai lahir di Carangsari, Bali, 30 Januari 1917. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Palung dan ibunya I Gusti Ayu Kompyang.
Sang ayah adalah seorang Camat Petang, sehingga berkat jabatan ayahnya, Ngurah Rai dapat bersekolah di sekolah formal.
Ia menempuh pendidikan di Holands Inlandsche School (HIS) atau sekolah pribumi zaman kolonial Belanda di Denpasar.
Kemudian, ia melanjutkan sekolahnya di MULO atau sekolah menengah pertama di Malang, Jawa Timur.
Pada 1936, I Gusti Ngurah Rai yang telah memiliki ketertarikan sejak kecil dalam dunia militer melanjutkan sekolahnya di Sekolah Kader Militer di Bali.
Empat tahun kemudian, 1940, Ngurah Rai dilantik sebagai Letnan II.
Lalu, ia meneruskan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), sekolah militer buatan Belanda, di Magelang.
Berkat kecerdasannya selama menempuh pendidikan militer, Ngurah Rai pun menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok semasa penjajahan kolonial Belanda.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Ngurah Rai bersama rekan militernya ikut membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil.
Baca Juga: Kisah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pelopor Hari Kebangkitan Nasional
Lalu, I Gusti Ngurah Rai diangkat menjadi komandannya.
Sebagai komandan, I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta yang menjadi markas besar TKR untuk berkonsolidasi dengan pimpinan pusat. Seketika itu juga, Ngurah Rai ditunjuk menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
TKR Sunda Kecil di bawah pimpinannya dengan kekuatan 13,5 kompi telah tersebar di seluruh kota di Bali.
Pasukannya itu pun dikenal dengan sebutan Ciung Wanara.
Setelah gugur dalam Pertempuran Margarana, Ngurah Rai disemayamkan di Marga, Bali.
Pada 9 Agustus 1975, ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keppres No. 063/TK/TH 1975.
Kini, namanya juga telah dijadikan sebagai nama bandar udara di Bal
Itulah I Gusti Ngurah Rai, sosok yang memimpin perang Puputan Margarana melawan Belanda usia isi Perjanjian Linggarjati ditandatangani.
Baca Juga: Pancasila Sebagai Dasar Negara pada Masa Awal Kemerdekaan, Bagaimana Memahaminya?
(*)