Intisari-Online.com - Pernah terjadi konflik berulang kali antara China dan Indonesia di Laut Natuna.
Setidaknya sejak 2016 persoalan tersebut hilang timbul, misalnya dengan masuknya kapal China tanpa izin maupun terkait nama Laut Natuna Utara.
Pada Maret 2016, terjadi konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.
Kemudian pada 2017, penamaan Laut Natuna Utara di peta baru NKRI yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman memicu kritik Beijing.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, menganggap pergantian penyebutan nama itu tak masuk akal.
Penamaan itu sendiri dilakukan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, bukan wilayah Laut China Selatan secara keseluruhan.
Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Sementara pada 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Terkait aksi kapal asing China pada 2019 itu, memicu ketegangan hubungan Indonesia dengan China hingga Kementerian Luar Negeri RI melayangkan protes.
Kementrian Luar Negeri RI dalam rilisnya pada 30 Desember 2019, menilai pelayaran tersebut termasuk kegiatan ilegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai China di perairan Natuna.
"China adalah salah satu mitra strategis Indonesia di kawasan.
"Kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati, dan membangun kerjasama yang saling menguntungkan," tulis rilis Kemenlu RI.
Selain itu, respon pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri tersebut menyampaikan poin lainnya.
Yaitu bahwa Indonesia tak mengakui Nine-Dash Line, klaim sepihak China yang disebut tak memiliki alasan hukum yang diakui hukum Internasional terutama UNCLOS 1982.
Saat itu, Juru Bicara Menteri Luar Negeri China, Geng Shuang, menanggapi protes Indonesia dengan berdalih bahwa negaranya mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS.
Ia mengungkapkan bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan (relevant waters).
Konflik antara Indonesia dan China terkait wilayah Laut Natuna juga sempat menjadi trending topic Twitter.
Selanjutnya, Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan pemerintah bersikap tegas sekaligus memprioritaskan diplomasi damai.
Presiden Jokowi berkunjung ke Natuna pada Rabu (8/1/2020), dan pada kesempatan tersebut menegaskan tak ada tawar-menawar terhadap kedaulatan Indonesia.
Termasuk terhadap wilayah Kepulauan Natuna yang diklaim China masuk dalam teritorialnya.
Dengan sikap pemerintah Indonesia tersebut, ketegangan mulai menyusut.
Pemerintah China mengatakan bahwa China dan Indonesia telah berkomunikasi secara diplomatik terkait permasalahan tersebut.
"China dan Indonesia adalah mitra strategis yang komprehensif.
"Di antara kami, persahabatan dan kerja sama adalah arus utama, sementara perbedaan hanyalah cabang," kata Geng Shuang, dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri China, Rabu (8/2/2020).
Di kesempatan lain Jokowi mengatakan bahwa wilayah perairan Indonesia bukan hanya Natuna, yang juga harus mendapat perhatian.
"Tanggung jawab siapa? itu Angkatan Laut kita, ada Bakamla, KKP di situ. Tapi kita juga harus sadar, bentang laut kita luas sekali.
"Jangan bicara Natuna terus, tahu-tahu di Maluku diserbu nggak tahu," tegasnya.
Pemerintah China akhirnya mulai bersikap lunak atas ketegangan yang terjadi di Laut Natuna dengan Indonesia.
Baca Juga: Berdasarkan Masing-masing Butirnya, Begini Memahami Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
(*)