Intisari-Online.com -Utang Indonesia yang terus membengkak membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah akan kesulitan untuk membayarnya.
BPK telah mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat di era pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu, termasuk penggunaan APBN 2020.
Lembaga auditor tersebut menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna berujar, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19).
Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini melampaui pertumbuhan PDB nasional.
Dikutip dari Kompas TV pada Rabu (23/6/2021), Agung mengatakan, "Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah."
Berbicara mengenai utang, ternyata ada negara-negara yang terancam bangkrut karena utang yang membengkak, seperti melansir dari berbagai sumber:
1. Yunani
Pada tahun 2012 lalu, Yunani tak bisa membayar utang senilai US$138 miliar (sekitar Rp1.987 triliun).
Pada 2015, Yunani disebut-sebut menyandang status bangkrut karena utang terus meningkat hingga US$360 miliar (Rp5.184 triliun).
Jumlah orang miskin di Yunani melonjak, jumlah pengangguran naik, begitu pun jumlah tunawisma naik hingga 40 persen pada 2015.
Yunani mulai kembali ke pasar obligasi internasional sejak 2017.
Dengan penerbitan obligasi pada 2020, rasio utang Yunani diprediksi mencapai 188,8 persen dengan nilai utang 337 miliar euro, naik dari posisi 2019 yang sebesar 331 miliar euro.
2. Argentina
Karena tak bisa melunasi utang ke kreditur, Argentina dinyatakan gagal bayar (default).
Hal ini berawal dari kebijakan pemerintah Argentina yang mematok US$1 sama dengan 1 peso Argentina, sehingga menyebabkan mata uang Argentina dengan dolar AS menjadi tidak akurat.
Situasi itu menimbulkan kepanikan, sehingga banyak masyarakat yang menarik uang di bank.
Argentina mengumpulkan seluruh kreditur untuk berdiskusi terkait restrukturisasi utang senilai US$100 miliar atau Rp1.440 triliun pada 2005 dan 2010.
Pemerintah Argentina kembali mengajukan pinjaman US$50 miliar (Rp720 triliun) ke Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2018 untuk menangani krisis ekonomi yang sedang terjadi saat itu.
Tahun ini, Argentina mengungkapkan tak bisa membayar utang ke IMF sebesar US$45 miliar (Rp648 triliun) pada tahun ini karena tak memiliki dana untuk membayarnya.
3. Zimbabwe
Pada 2008, Zimbabwe terlilit utang hingga US$4,5 miliar (Rp64,8 triliun). Tingkat pengangguran Zimbabwe juga melonjak hingga 80 persen.
Masyarakat Zimbabwe berhenti menggunakan bank, berhenti membayar pajak dan tak menggunakan mata uang nasional sebagai alat transaksi jual beli karena mengalami hiperinflasi.
Karena uang tak lagi berarti, mereka lebih memilih sistem barter.
4. Venezuela
Pada 2017, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan pemerintahannya tak bisa membayar seluruh utang negara.
Maduro mengatakan perusahaan minyak negara telah membayar utang sebesar US$1,1 miliar (Rp1584 triliun, yang disebut-sebut cukup besar untuk untuk sebuah negara yang saat ini hanya memiliki dana US$10 miliar (Rp144 triliun) di bank.
Venezuela tercatat memiliki utang kepada sejumlah negara, seperti China dan Rusia.
5. Ekuador
Pada 2008 lalu, Ekuador menyatakan tak mau membayar utang.
Ekuador sebenarnya mampu untuk membayar utang yang mencapai US$10 miliar (Rp144 triliun) karena negara itu juga memiliki sumber daya alam cukup banyak.
Namun, pemerintah lebih memilih tak membayar utang. Pemerintah saat itu mengklaim utang negara di masa lalu disebabkan aksi korupsi di pemerintahan sebelumnya.
Pada 2020, Ekuador mendapatkan pinjaman sebesar US$643 juta (Rp9,25 triliun) dari IMF yang digunakan untuk pembiayaan darurat menangani pandemi covid-19.