Intisari-Online.com- Papua bersama dengan KKB telah mengalami gejolak terus-menerus selama lebih dari 50 tahun, terutama setelah dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969.
Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua bahkan diperpanjang selama enam bulan.
Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.
Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).
Sejarah mencatat perlawanan tanpa kekerasan di Papua Barat berawal dari gerakan oposisi melawan pemerintahan kolonial oleh Belanda dan Jepang.
Salah satu yang paling terkenal adalah 30.000 pemberontakan tidak bersenjata yang kuat di pulau Biak selama tahun 1940-an.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Angganita Menufandu dengan melakukan perlawanan pajak, penolakan kerja paksa dan pembangkangan larangan menyanyi dan menari tradisional.
Pada tahun 1965 perlawanan bersenjata dimulai.
Kemudian ini diorganisir menjadi TPN (Tentara Pembebasan Nasional) pro-kemerdekaan.
Terlepas dari mitos populer tentang orang Papua Barat yang melawan kekuatan tentara Indonesia dengan busur dan anak panah, sebagian besar perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia di Papua Barat mdimulai lewat kebudayaan dan perjuangan berbasis sipil tanpa kekerasan.
Salah satu anteseden untuk perlawanan non-kekerasan yang berbasis massa adalah karya kelompok musik budaya Mambesak yang didirikan oleh antropolog dan musisi Papua Barat Arnold Ap pada 1970-an dan 1980-an.
Proyek revitalisasi budaya dan pembebasan kognitif Ap sangat luas pada saat menyebut diri sendiri sebagai Melanesia atau Papua Barat dianggap subversif secara politis.
Melalui pengumpulan dan pertunjukan lagu serta tarian tradisional Papua Barat, Mambesak dan Arnold Ap membantu menciptakan kesadaran akan identitas nasional bersama.
Ungkapan paling populer dari perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintahan Indonesia adalah peningkatan bendera Bintang Kejora, simbol terlarang gerakan kemerdekaan Papua Barat dan simbol identitas nasional dan budaya.
(*)