Lepas dari Cengkeraman Pemerintahan Orba Soeharto, Perlawanan Sipil di Papua Barat Meletus hingga Tim 100 'Minta Merdeka' Langsung ke Habibie

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Ilustasi orang Papua. Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).

Intisari-Online.com -Papua bersama dengan KKB telah mengalami gejolak terus-menerus selama lebih dari 50 tahun, terutama setelah dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969.

Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua bahkan diperpanjang selama enam bulan.

Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.

Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).

Baca Juga:Bawa Uang Rp370 Juta Saat Ditangkap, Terduga Penyuplai Senjata ke KKB Papua Ini Rupanya Bagian dari Kelompok Tersebut

Sejarah mencatat, setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, perlawanan rakyat sipil terhadap pemerintahan Indonesia di Papua Barat meletus.

Setelah bertahun-tahun pemerintahan militer di bawah Soeharto, seolah-olah tutupnya telah dibuka dari keinginan kebebasan yang telah lama terpendam.

Perbedaan pendapat itu berupa pengibaran bendera Bintang Kejora, demonstrasi besar-besaran, dan pembentukan organisasi hak asasi manusia dan pro-kemerdekaan.

Terlepas dari kekuasaan militer selama puluhan tahun, gerakan tersebut dengan cepat memperoleh dukungan rakyat.

Baca Juga: Sebut KKB Papua Lebih Menguasai Medan Pertempuran, Megawati Sarankan BIN Gunakan Taktik Ini Jika Ingin Menang, 'Naik Pohon Bisa, Apalagi yang di Pegunungan Itu'

Setelah serangkaian pertemuan informal di Papua Barat dan Jakarta pada tahun 1999, FORERI, (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya, organisasi yang didirikan pada Agustus 1998 oleh berbagai tokoh masyarakat sipil Papua) mengorganisir tim yang terdiri dari 100 pemimpin masyarakat sipil untuk melakukan perjalanan ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Indonesia Habibie.

Dalam pertemuan dengan Habibie para pemimpin Tim 100, mengumumkan bahwa mereka menginginkan kemerdekaan.

Namun, begitu kata “kemerdekaan” disebutkan, dialog berhenti di situ.

Tertegun dan jelas salah informasi tentang kedalaman dan tingkat ketidakpuasan di Papua Barat, Habibie mengesampingkan tanggapannya yang sudah disiapkan.

Baca Juga: Bawa Uang Rp370 Juta Saat Ditangkap, Terduga Penyuplai Senjata ke KKB Papua Ini Rupanya Bagian dari Kelompok Tersebut

Dia kemudian meminta delegasi Papua untuk mempertimbangkan kembali keinginan mereka untuk berpisah dari Indonesia.

Meskipun tidak ada hasil yang jelas dari pertemuan tersebut, perjuangan Papua telah meledak ke tengah panggung dan tim kembali ke rumah dengan sambutan pahlawan.

Setelah pertemuan Tim 100, gerakan untuk merdeka terbagi menjadi dua bagian: sayap pemerintah paralel dan sayap masyarakat sipil non-pemerintah.

Aktivis politik membentuk Dewan Presidium Papua (PDP), sebuah pemerintahan paralel yang terdiri dari 500 anggota panel yang mewakili wilayah geografis dan 31 anggota eksekutif yang mewakili konstituen sosial utama.

Baca Juga: Pantas Aksinya Makin Merajalela, Terbongkar Sudah Biang Keladi yang Jadi Pemasok Senjata ke KKB Papua, Bertransaksi hingga Rp1,3 Miliar, Langsung Ditangkap Polisi!

Sebagian besar eksekutif berbasis di ibu kota Jayapura.

PDP muncul pada saat keterbukaan di bawah presiden Habibie dan penggantinya, Abdurrahman Wahid, dan ketika pemerintah pusat belum mengkonsolidasikan kekuasaannya setelah jatuhnya Soeharto.

PDP terbentuk setelah dua kali jajak pendapat yang melibatkan puluhan ribu orang Papua.

Beberapa dari mereka berjalan selama sebulan untuk menghadiri pertemuan.

Baca Juga: Inilah Pemasok Amunisi dan Senjata ke KKB Papua, Anak Buah Pimpinan KKB yang Berbahaya Ini, Keuntungan Fantastis Diraup Sampai Rp 1,39 Miliar

Untuk pertama kalinya, bendera Bintang Kejora yang telah lama dilarang berkibar bebas.

Pada saat yang sama, anggota gereja dan organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam advokasi hak asasi manusia mendirikan Elsham (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia).

Elsham, yang berbasis di Papua Barat, segera membuat dan memobilisasi jaringan penyelidik domestik yang terhubung dengan baik ke dalam jaringan advokat internasional.

Kaum moderat Papua Barat dan sekutu Indonesia yang tinggal di Papua Barat memanfaatkan ruang politik yang telah terbuka dan mulai menyusun paket Otonomi Khusus.

Pada tahun 2001 Otonomi Khusus telah menjadi undang-undang.

Saat itu negara Indonesia sudah mulai mengkonsolidasikan kembali kekuasaan.

Baca Juga: Sosok Ratius Murib Terduga Pemasok Senpi dan Amunisi ke KKB Papua Diamankan, Total yang Dikirim dan Diterima Mencapai Rp 1 Miliar

Banyak orang di pemerintah pusat merasa bahwa Otonomi Khusus terlalu banyak memberi kelonggaran kepada gerakan kemerdekaan, sehingga sementara beberapa tuntutan Papua dipenuhi, represi diperbarui oleh pemerintah Indonesia baru yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri.

Lima aktivis masyarakat sipil terkemuka dipenjara dan kemudian dibebaskan.

Pada November 2001, satu dari lima orang yang ditangkap sebelumnya, Ketua PDP, Theys Eluay, telah dibunuh.

Upaya negara untuk melemahkan gerakan kemerdekaan ini sebagian besar berhasil.

Dalam menghadapi represi negara, PDP runtuh tanpa pengganti yang jelas.

Kapasitas Elsham untuk melanjutkan advokasi menurun setelah militer Indonesia memenangkan kasus pengadilan pencemaran nama baik dan juru bicara organisasi internasional yang karismatik, John Rumbiak, dipaksa menjalani pengasingan dan menderita stroke.

Baca Juga: Sosok Ratius Murib Terduga Pemasok Senpi dan Amunisi ke KKB Papua Diamankan, Total yang Dikirim dan Diterima Mencapai Rp 1 Miliar

Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan bawah tanah mulai direorganisasi.

Kelompok masyarakat sipil terus mencari ruang untuk bekerja demi perubahan tetapi ruang politik mereka sangat berkurang.

Mantan aktivis PDP menghindari politik terbuka dan malah membentuk Dewan Adat Papua (DAP) di bawah rubrik hak dan pengakuan adat.

Namun, banyak orang di dalam DAP melihat diri mereka mengejar agenda perubahan melalui penguatan tata kelola adat dan mempromosikan hak-hak adat.

Gereja-gereja (baik Katolik maupun Protestan) telah memainkan peran kepemimpinan melalui pengembangan kampanye “Tanah Damai Papua” yang menyerukan dialog, demiliterisasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Gereja-gereja adalah salah satu dari sedikit organisasi sejak tahun 1996 yang secara gigih dan konsisten mengangkat suara kritis kolektif.

Baca Juga: Dijuluki Kelompok KKB Papua Paling Brutal, Kelompok Ini Pernah Serang Pesawat TNI AU Dengan Cara Ini, Bahkan Tak Gentar Serang 12 TNI Sekaligus

(*)

Artikel Terkait