Intisari-online.com -Tanggal 13 April lalu penghargaan untuk mantan menteri luar negeri Australia dan pemimpin oposisi federal Andrew Peacock telah mengalir dari sepanjang aliran politik lain.
Ia dikenal di Australia sebagai sosok besar yang meninggalkan bekas "tak terhapuskan" di Australia tahun 1970-an dan 1980-an.
Mantan pemimpin Partai Liberan John Hewson telah menggambarkan dia sebagai "tokoh Australia hebat" yang sebagai moderat "liberal kecil-kecilan" berprinsip di hubungan internasional.
Ia pernah terlibat dalam memerdekakan Papua Nugini dari 1975-1980, tapi sedikit yang tahu kiprahnya di Timor Leste.
Melansir Lowy Institute, Peacock tidak dikenali saat ia memainkan peran meggapai dan mendukung posisi pemerintahan Fraser di Timor Leste.
Malcolm Fraser adalah pemimpin Australia pertama yang secara resmi mengenali aneksasi de fakto Indonesia ke Timor Leste pada Januari 1978.
Tugas Peacock yang lebih spesifik adalah mendukung upaya aneksasi Indonesia, dan mempropagandakan narasi palsu mengenainya ke publik Australia dan komunitas internasional.
Serta, melindungi rezim Soeharto dari kekacauan situasi pelanggaran HAM dan pembantaian massal.
Australia memang satu-satunya negara yang mengakui aneksasi Indonesia ke Timor Leste.
Mereka mengakuinya karena perlu hubungan yang stabil dengan Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Namun bagi pemimpin Fretilin Xanana Gusmao, mereka dikritik habis-habisan karena mengesampingkan isu HAM.
Pendukung HAM
Peacock awalnya adalah tokoh yang mendukung kemerdekaan Timor Leste dan menampung aspirasi warga Timor.
Sebagai juru bicara oposisi dalam hubungan luar negeri sebelum serangan 1975, ia mendukung kemerdekaan Timor Leste.
Ia bertemu dengan menteri luar negeri Fretilin Jose Ramos Horta ketika Horta datang ke Australia dan menuduh Perdana Menteri Gough Whiltam atas "kebijakan luar negeri bangkrut" dalam mendukung aneksasi Indonesia.
Ia menasihati "aksi bebas kemerdekaan" dan lakukan pendekatan lebih proaktif lagi, termasuk membangun hubungan dengan politikus Timor Leste.
Saat perang sipil singkat memimpin berkuasanya Fretilin dan masuknya TNI/ABRI ke Timor Leste, Peacock memberi nasihat di bawah pendekatan regional untuk mengakhiri konflik tersebut dan Australia akan berperan sebagai mediator bagi Portugal, Indonesia, dan warga Timor.
Beberapa hari sebelum diangkatnya jabatan Whitlam, Peacock mempublikasikan artikel di koran Melbourne, Herald, mengatakan ketakutan perang gerilya dan dengan kuat mengkritik posisi pemerintah yang seharusnya tidak terlibat.
Namun posisi ini berakhir setelah 11 November 1975 ketika Gubernur Jenderal Australia menunjuk Fraser sebagai pengisi posisi pemerintah selanjutnya, menjadikan Peacock sebagai pelaksana menteri luar negeri.
Fraser dan Peacock awalnya mengeksplorasi kemungkinan dari reorientasi kebijakan.
Peacock mengirimkan surat kekhawatiran kepada Soeharto mengenai intervensi rahasia Indonesia dan Fraser meningkatkan kemungkinan adanya pasukan penjaga perdamaian PBB dalam memulihkan ketertiban pada invasi.
Pada kedua kasus, mereka membicarakan aksi ini dengan Departemen Luar Negeri yang berargumen gerakan Indonesia menghadapi integrasi paksaan telah terlalu dipaksakan untuk menjadi efektif dan bukanlah kepentingan Australia juga untuk melawan rezim Soeharto atas isu itu atau mendukung kemerdekaan Timor Leste.
Fraser tidak suka dengan gerakan sayap kiri seperti Fretilin, dan departemen luar negeri mendesak posisi pro-Indonesia, sehingga Peacock mengubah politiknya.
Ia mendukung kependudukan Indonesia, dan menjalankan konsultasi blak-blakan antara intelijen Indonesia dan kedutaaan di Jakarta, membantu aksi militer Indonesia di Timor Leste.
Seperti yang dilakukan pemerintah sebelumnya, ia mempropagandakan kebohongan jika aktivitas Indonesia tersebut adalah perang sipil antara warga Timor Leste dan Indonesia boleh masuk untuk penjaga perdamaian.
Pemerintah Fraser membutuhkan hubungan yang baik dengan pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto yang kala itu menjadi kunci strategis hubungan dengan negara ASEAN anti komunis.
Saat itu, Vietnam tengah mengalami krisis identitas dan menghimpun dukungan non komunis sangat membantu untuk menyelesaikan masalah isu komunisme di Vietnam dan menyusul Laos serta Kamboja.
Ketika invasi 7 Desember 1975, ia menghindari kecaman langsung terhadap tindakan Indonesia, ia mengatakan menyesali "jalan yang telah diambil di Timor Leste" dan menghargai "beratnya masalah yang ditimbulkan ke pemerintah Indonesia".
Ia mengabaikan proses dekolonisasi yang sengaja dirusak oleh Soeharto.
Peacock kunjungi Jakarta tanggal 19 dan 20 Januari 1976, di sana ia menyatakan persetujuannya dengan Soeharto jika "masalah penentuan nasib sendiri harus diselesaikan dengan cepat".
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini