Intisari-Online.com - Timor Leste melepaskan diri dari Indonesia melalui Referendum pada tahun 1999.
Hasil pemungutan suara akhirnya menunjukkan bahwa mayoritas warga Timor Leste yang saat itu bernama Timor Timur menolak berintegrasi dengan Indonesia.
Namun, ketika wilayah Timor Leste merdeka dari Indonesia, ternyata ada pula warganya yang memilih untuk tetap tinggal di Indonesia meski harus berpisah dengan keluarga.
Penduduk Timor Leste saat itu terpecah, ada yang pro terhadap integrasi dengan Indonesia dan ada pula kelompok pro-kemerdekaan.
Bahkan, satu keluarga pun dapat memiliki pilihan yang berbeda.
Keluarga Muhajir Hornai Bello, seorang pengunsi Timor Leste di Indonesia, menjadi salah satunya.
Melansir Tribun Papua (2/9/2019), Muhajir telah mengungsi ke Desa Noelbaki, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau wilayah Timor Barat, pasca referendum tahun 1999.
Ia dan beberapa anggota keluarganya tiba dan mengungsi ke wilayah Indonesia tersebut dengan menumpang kapal TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Baca Juga: Posisi Janin Sebelah Kiri Laki atau Perempuan? Yuk Cari Tahu dengan Penjelasan Berikut Ini
Bukan hanya keluarga Muhajir saja, namun juga sekitar 1.000 orang pengungsi lain dari sejumlah kabupaten.
"Kira-kira seribu lebih orang ada di kapal itu," ungkapnya.
Di desa itu, Muhajir juga tinggal bersama ribuan orang lainnya yang sama-sama mengungsi dari Timor Leste.
"Saya dulu di Timor Leste di Kabupaten Viqueque," katanya.
"Saya pindah sama keluarga, mengungsi ke negara Indonesia. Termasuk bapak, mama, istri, anak semuanya ikut," ungkap mantan petani ini kepadaABCNews.
Meski keluarga intinya ikut ke Indonesia, namun Muhajir juga harus terpisah dari anggota keluarganya yang lain karena berbeda pilihan.
Menurut Muhajir, merekalah satu-satunya yang dirindukan dari masa lalunya di Timor Leste.
"Banyak yang masih tinggal di Timor Leste, termasuk saudaranya bapak, saudara kakak bapak, saudara adik bapak, banyak yang masih di sana," cerita Muhajir.
Muhajir dan sebagian keluarganya memilih bergabung dengan Indonesia, sementara sebagian keluarga lainnya memilih kemerdekaan.
Perbedaan pilihan itu pun sempat membuat hubungannya dengan sang adik terputus komunikasi.
"Sempat putus komunikasi hampir 5 tahun,"
"Dulu kan anggaplah ideologi, namanya pilihan, mereka pilih merdeka, saya ingin bergabung dengan Indonesia itu artinya beda pendapat," katanya.
Bukan tanpa alasan Muhajir memilih untuk tinggal di wilayah Indonesia.
Muhajir mengaku, ia merasa hidupnya jauh lebih baik di tanah pengungsian.
Ia juga membandingkan dengan saudaranya yang tinggal di Timor Leste.
"Malahan saudara saya yang di Timor Leste ambil berasnya dari Kupang terus dibawa ke sana."
"Di sana mereka punya beras kurang bagus makanya ambil di sini," ungkapnya.
Baca Juga: Begini Cara Hitung Weton dan Mengetahui Watak Orang Berdasarkan Hitungan Wetonnya
Beberapa kali, adik Muhajir membawa ratusan kilo gram beras dari Kupang ke Timor Leste.
"Saya punya adik beberapa kali ke sini, tiap pulang selalu bawa kembali kurang lebih 100-200 kg beras ke Timor Leste," ceritanya.
Selain itu, Muhajir mengaku enggan mengenang mimpi buruk semasa pra-referendum.
Itulah alasannya memilih tinggal di Indonesia alih-alih kembali ke tanah kelahirannya.
"Karena waktu kita masih di sana ya dua kubu, artinya kan kita bergerak kan tidak bisa, bidang pertanian ya tidak bisa,"
"Kalau di sini kita petani mau bekerja di pertanian bisa, karena aman untuk kita bekerja."
"Kalau dulu, kita mau bertani jauh darikampung itu kan kita takut, trauma, diteror, diancam sama kelompok-kelompok yang ingin merdeka," ungkapnya.
Muhajir ingin menghabiskan hidupnya di Indonesia, namun, ada satu ganjalan yang selama 20 tahun ini menghantuinya, yaitu terkait statusnya, di mana mereka masih tinggal di pengungsian dengan status tanah tempat tinggalnya tak jelas.
(*)