Intisari-online.com - Joen Carmel, dia adalah seorang Yahudi yang besar di pinggiran London.
Sebagai orang dengan darah Yahudi, Carmel memiliki hasrat ingin membela Israel di tengah kecaman dunia karena kekejamannya pada Palestina.
Carmel mengatakan dia adalah seorang fanatik Israel yang tumbuh besar di lingkungan Zionis.
"Semua orang mengecam kami, segala sesuatu adalah anti-Israel, dan kami memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan sisi lain kami," katanya.
Sebagai seorang fanatik yang pro-Israel, Carmel memangkan hadiah duta besar dalam membela Israel.
Pada usia 18 tahun dia ditempatkan di universitas Inggris, kemudian pindah ke Israel dan bergabung dengan Pasukan Keamanan Israel (IDF).
Dia ditugaskan di tepi barat yang diduduki Israel sebagai bagian administrasi militer Israel.
Ketika Perdana Menteri Benjamin Nethanyahu memerintahkan mencaplok tepi barat, Carmen menceritakan pengalamannya.
Dia menyebutkan bahwa dia tidak ingin menjadi seorang tentara, tetapi orang Israel yang melakukan apa yang orang lain lakukan.
Sebagian besar anak muda Israel sangat bangga memegang senjata, menurutnya itu sangat keren.
Tetapi Carmel tidak suka bau mesiu, dia membencinya dan tidak suka memegang senjata.
Namun, karena dia memiliki prestasi tinggi akhirnya dia dipilih untuk pelatihan perwira, dan kemudian ditempatkan di COGAT atau birokrasi militer Israel.
Tugasnya adalah koordinasi kegiatan pemerintah di wilayah.
Carmel menggambarka dirinya sebagai pemerintah bayangan, yang dibangun Isrel untuk memerintah Tepi Barat.
Padahal tempat itu adalah rumah bagi 2,8 juta warga Palestina yang ditangkap dari Yordania, dalam perang enam hari tahun 1967.
Namun, lebih dari 500.000 orang Yahudi juga pergi ke wilayah itu dan membangan pemukiman yang kontroversial.
Hingga kemudian, Carmel mendapati sebuah momen yang membuat hidupnya berubah, dari pro-Israel kemudian membocorkan kebusukan militer Israel.
Awalnya Carmel tertarik dengan tugasnya karena dia yakin bisa belajar banyak soal bahasa Arab, tetapi dia hnaya diajari mengeluarkan perintah militer seperti Berhenti, Angkat Tangan, Tinggalkan Ruangan, dan Masuk Rungan.
Tak ada konteks sosial, dan hanya bersifat intruksi.
Hingga suatu ketika dia diperintahkan untuk berbicara dengan otoritas Palestina, tetapi karena dia hanya bisa sedikit bahasa Arab.
"Itu adalah pengalaman yang memanusiakan bagi saya," katanya.
"Orang Israel mengatakan 'Mereka semua ingin membunuh kami', itu adalah sesuatu yang Anda dengar di Israel," jelasnya.
"Tapi sebagai seorang perwira di distrik Jenin, saya bertemu banyak orang Palestina setiap hari. Saya menyadari itu tidak benar. Mereka adalah manusia," jelasnya.
Setelah dua tahun, Carmel mengatakan keraguannya semakin besar.
Pendudukan sebagai pertahanan terhadap teroris Palestina adalah salah satu dimensi dari apa yang dia saksikan.
Dia menambahkan bahwa mempermalukan dan menanamkan ketakutan pada warga Palestina adalah hal lain.
Pada suatu malam diaberkendara ke sebuah desa Palestina dengan jip IDF dan menyaksikan pengemudinya menabrak tong sampah di luar setiap rumah.
Lalu meninggalkan jejak sampah yang berbau busuk dan sayuran yang membusuk di jalan.
Mereka menggedor pintu sebuah keluarga Palestina, katanya, dan meminta orang tua dan anak-anak yang bermata pucat itu datang ke pintu dan menjawab daftar pertanyaan.
Carmel mengatakan dia mencoba tersenyum pada seorang anak laki-laki Palestina, tapi dia balas melotot.
Proses tersebut tidak mengungkapkan apa-apa yang jarang terjadi, menurut Carmel dan tidak memiliki tujuan militer yang jelas.
Ketika tentara keluar dari desa, warga Palestina di atas atap melemparkan bom cat ke jip mereka, katanya, menambahkan bahwa seorang tentara Israel menjulurkan senjatanya ke luar jendela dan menembakkan peluru berujung karet dengan liar.
"Saat itulah saya menyadari bahwa saya ingin keluar dari militer. Saya tidak ingin melakukan sesuatu yang saya anggap tidak bermoral," katanya.
"Kami menghukum orang yang tidak melakukan apa-apa," tambahnya.
"Ya, ada teror, dan beberapa orang sangat mengancam kami. Tapi pendudukan adalah sistem kekerasan yang terus-menerus," jelasnya.
Langkah Carmel selanjutnya mempertaruhkan hukuman penjara. Menolak untuk mengikuti perintah adalah kejahatan militer yang parah, tetapi itu adalah harga yang bersedia dia bayar.
Dia menulis surat kepada komandannya.
"Saya benar-benar merasa pada saat itu bahwa dengan berada dalam rintangan seperti itu, secara ideologis, dengan pendirian dan unit tempat saya berada, hal itu memengaruhi saya secara emosional dan sangat membatasi kemampuan saya untuk melakukan pekerjaan saya sebaik mungkin," katanya.
"Karena itu, saya khawatir tentang dampak yang akan terjadi pada puluhan ribu orang Palestina yang kebebasan bergeraknya saya kendalikan, dan yang pada akhirnya akan menjadi orang yang paling menderita."
Setelah serangkaian pertemuan dengan para petinggi dan banyak berteriak, dia didorong diri keluar dari pekerjaan untuk menyelesaikan layanannya.
"Ketika saya pergi, saya menyadari bahwa meskipun saya adalah kepala staf, tidak ada yang dapat saya lakukan. Instruksi datang dari pemerintah. Itu keputusan politik," kata Carmel.
Tapi dia mencapai satu perubahan tak terduga. Setelah pengabdiannya selesai, ia menjadi studi kasus bagi petugas trainee.