Intisari-online.com -Sejak Papua atau Irian Barat masuk ke Indonesia pada tahun 1963, kelompok militan yang berupaya memerdekakan diri yang sekarang dikenal sebagai KKB Papua sudah lama ada.
Pemberontakan itu dimulai sejak tahun 1964.
Pemimpinnya pun silih berganti.
Namun ada satu nama pemimpin perlawanan Papua yang paling legendaris bernama Lodewijk Madatjan.
Ia merupakan pimpinan KKB Papua paling legendaris.
Hal ini karena ia memiliki ribuan anggota.
Perjuangannya meski begitu mati ketika ia bertemu dengan Presiden Soeharto.
Ia juga menyerah baik-baik.
Berikut adalah fakta-fakta mengenai pimpinan KKB Papua yang legendaris Lodewijk Mandatjan dilansir dari surya.co.id.
Bukan bagian dari OPM
Aksi KKB Papua pimpinan Mandatjan termasuk penghadangan yang dilakukan di kecamatan Warmare dan Ransiki.
Saat itu aparat keamanan di sana tidak mampu menanggulangi keadaan.
Namun siapa sangka motif pemberontakan itu bukan hanya karena ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Bahkan ia bukan bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ia memberontak karena tidak puas dengan buruknya ekonomi ketika awal-awal Irian Barat bergabung dengan Indonesia.
Siapa sangka ia awalnya adalah pejuang Trikora, tapi ia merasa kecewa dengan Indonesia karena ekonomi terus-terusan buruk.
Himpun 14 ribu pasukan
Selama memimpin aksi teror dari tahun 1964 sampai 1967, ia berhasil menghimpun 14 ribu pasukan.
Hendro Subroto dalam bukunya 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' mengatakan komandan KKB Papua Lodewijk Mandatjan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan Perang Dunia ke-2.
Kemudian pada 28 Juli 1965, ada serangan ke asrama Yonif 641/Cendrawasih Manokwari yang sebabkan tiga anggota TNI gugur dan 4 lainnya luka-luka.
Pertempuran diperparah dengan pasukan khusus TNI RPKAD (sekarang Kopassus) bertugas meredam pemberontakan KKB Papua saat itu.
Saat itu sekitar 50 prajurit RPKAD yang baru mendarat di Papua langsung bertugas guna hancurkan KKB Papua.
Menyerah setelah dibujuk Sarwo Edhie Wibowo
Aksi Lodewijk Mandatjan terus memanas sampai akhirnya Sarwo Edhie Wibowo pun turun.
Ia saat itu menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970).
Akibatnya Sarwo Edhie Wibowo harus menghadapi Lodewijk Mandatjan yang memimpin KKB Papua saat itu.
Dengan kecerdikannya, ia menerapkan operasi tempur dengan operasi non tempur.
Ia masih menggunakan pendekatan non tempur karena Sarwo Edhie merasa KKB Papua masih merupakan saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur. Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi" kata Sarwo Edhie Wibowo dalam buku karya Hendro Subroto.
Atas dasar hal itulah dan menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie menugaskan menyebarkan puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Selanjutnya ia menugaskan perwira Kopassus Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua Lodewijk Mandatjan.
Hal tersebut dilakukan untuk membujuk Mandatjan dan anak buahnya agar kembali ke NKRI.
Mereka berdua segera dengan tangan kosong tanpa senjata berjalan kaki memasuki hutan Papua.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Mayor Heru Sisnodo berkata: "Bapak tidak usah takut. Saya anggota RPKAD (sekarang Kopassus). Komandan RPKAD yang ada di sini anak buah saya. Dia takut sama saya. Kalau bapak turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi bapak."
Akhirnya Lodewijk Mandatjan berhasil diyakinkan dan ia turun beserta keluarga dan anak buahnya ke Manokwari.
Sintong Panjaitan mengatakan "Bapak saya jamin, saya akan melindungi bapak dengan keluarga," ketika bertemu dengan Lodewijk Mandatjan.
Dengan itu Kopassus layaknya sudah memberantas tubuh dari KKB Papua dan tinggal menyisir untuk memburu sisa-sisa pemberontak KKB Papua lainnya.
Begitulah cara Sarwo Edhie Wibowo lakukan pendekatan tanpa kekerasan untuk luluhkan KKB Papua.
Temui Soeharto di Istana Merdeka
Tidak hanya diluluhkan oleh Sarwo Edhie Wibowo, Lodewijk Mandatjan juga pernah diundang ke Istana Merdeka bertemu dengan Soeharto pada 11 Januari 1969.
Saat itu Presiden Soeharto menerima kakak beradik Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan dan Kapten (Tituler) Barens Mandatjan di Istana Merdeka.
Mereka menjelaskan jika atas kemauan sendiri mereka kembali.
Soeharto lalu bersikap layaknya orang Jawa dan mengakui sadar banyak kekurangan dalam kehidupan rakyat di Irian Barat.
Tapi bagi Soeharto, kebahagiaan harus diperjuangkan dengan mengusahakan pembangunan sehingga kemudian kehidupan rakyat bisa diperbaiki setahap demi setahap.
Ia lantas tegaskan tekad membangun Irian Barat sejak daerah itu direbut dari Belanda, dan masalahnya saat itu adalah bagaimana mewujudkan pembangunan Irian Barat secepatnya.
Ia meminta kedua Mandatjan mengenai penentuan pendapat rakyat di mana diminta bantuan mereka untuk ikut mensukseskannya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini