Intisari-Online.com - Ketika ditugaskan sebagai dokter Inpres di Puskesmas Tiom, Kab. Jayawijaya, tahun 1983, itulah kali pertama saya terbang dengan pesawat kecil Cessna 185 mesin tunggal kapasitas empat orang dengan daya angkut maksimal 400 kg.
Sejak itu saya tahu kelebihan si capung. Karena terbang rendah, kami dapat merasakan masuk ke awan, melihat langsung gunung, sungai, kampung, dan memotret pemandangan di sekelilingnya.
Pesawat capung pun lebih aman. Walau mesin mati, ia dapat meluncur cukup jauh untuk mencari landasan rumput terdekat.
Di Papua pesawat capung sudah ada sejak tahun 1960. Pesawat itu umumnya Cessna 185, namun juga ada Cessna Caravan, Porter Pilatus dengan daya angkut lebih dari dua kali lipat Cessna 185.
Yang pasti, pesawat itu harus dapat mendarat dan tinggal landas di landasan pendek dari lapangan rumput.
Uniknya, di pegunungan landasan bisa berada di lereng gunung.
Saat mendarat, meluncur naik lereng; dan saat tinggal landas, meluncur turun.
Jadi, saat mendarat melawan gaya gravitasi, sedangkan saat tinggal landas didorong gravitasi.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR