Intisari-Online.com - Dalam sejarah Timor Leste, negara termuda di Asia Tenggara ini pernah menjadi bagian wilayah Indonesia.
Antara tahun 1975 hingga 1999, Timor Leste yang dulu bernama Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia dan menjadi provinsi ke-27 RI.
Tapi, selama masa-masa itu, terus terjadi pemberontakan dari rakyat Timor Leste pro-kemerdekaan.
Sebelum diinvasi Indonesia, rakyat Timor Leste telah terpecah menjadi kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-integrasi dengan Indonesia.
Rupanya perpecahan tersebut terus berlanjut saat Timor Leste berada di bawah pemerintahan Indonesia.
Perlawanan terus dilakukan, pertempuran antara kelompok separatis dan pasukan Indonesia terjadi di wilayah berjuluk Bumi Lorosae itu.
Selain berjatuhan korban jiwa, hilangnya anak-anak dari tanah kelahirannya juga menjadi kisah pilu sisa-sisa masa tersebut.
Anak-anak Timor Leste yang tak tahu apa-apa dipaksa terpisah dari keluarga dan meninggalkan tanah kelahirannya, seperti yang dialami pria bernama Alberto ini.
Namanya Alberto Muhammad, ia merupakan salah satu anak Timor Leste yang harus merasakan dampak pertempuran di tanah kelahirannya.
Ia merupakan satu dari ribuan anak yang 'diambil paksa' oleh tentara Indonesia saat Timor Leste integrasi dengan Indonesia.
Peristiwa itu seringkali disebut sebagai penculikan, meski pemerintah Indonesia sendiri membantahnya, denganmenyebut mereka sebagai anak-anak yang 'terpisah'.
Alberto terpisah dari keluarganya selama berpuluh-puluh tahun sebelum hari bahagia yang hampir tak pernah dia bayangkan akhirnya datang.
Melansir Kompas.com (26/3/2017), setelah lebih dari 30 tahun dipisah secara paksa, Alberto kembali ke Timor Leste dan wartawan BBC, Rebecca Henschke, mengikutinya dalam perjalanan tersebut.
Alberto meninggalkan Timor Leste saat ia berusia 14 tahun, kemudian hidup di Indonesia, tepatnya Jawa Barat.
Bahkan, meski sebenarnya masih hidup, makam Alberto Muhammad justru ada di Timor Leste.
Kisah kepulangannya ke Timor Leste diwarnai suasana haru.
Saat itu Alberto terbang dari Pulau Bali ke ibu kota Timor Leste, Dili.
Padahal, durasi penerbangan itu kurang dari dua jam, namun, selama 43 tahun hidupnya, Alberto Muhammad tak pernah membayangkan bakal menempuh perjalanan itu.
Kedatangan Alberto telah ditunggu kerumunan keluarga besarnya di Dili.
Sebagian dari mereka rela bertolak dari desa ke Dili dalam perjalanan yang memakan waktu selama tujuh jam, demi bertemu Alberto.
Ketika kaki Alberto turun dari tangga pesawat dan menyentuh aspal bandara, dia langsung berlutut dan berdoa.
Keluarga besar Alberto mengelilinginya. Semua ingin bertemu dengan anak mereka yang telah puluhan tahun hilang, bahkan dianggap sudah tiada. Tangis haru mewarnai pertemuan itu.
Alberto berulang kali mengucapkan, "Saya tidak percaya berada di sini."
Alberto merupakan salah satu anak Timor Leste yang punya kisah memilukan itu.
Diyakini semua keluarga di negara kecil Timor Leste sedikitnya telah kehilangan satu anak akibat perang.
Kematian menjadi sesuatu yang wajar di Timor Leste dari masa itu, tapi kembalinya anak yang hilang bukan sesuatu yang lumrah.
Kembalinya anak-anak Timor Leste ke tanah kelahirannya dimungkinkan berkat upaya kelompok HAM Indonesia, AJAR, dengan dukungan Komnas HAM, Kementerian Luar Negeri RI, serta pemerintah Timor Leste.
Komisi pencari kebenaran Timor Leste, CAVR, memperkirakan ada sekitar 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka antara 1975 sampai 1999 akibat militer Indonesia, pemerintah Indonesia, atau organisasi keagamaan. Mereka disebut anak yang dicuri.
Seperti Alberto yang kala itu berusia 14 tahun, maka anak-anak lainnya diperkirakan kini berusia antara 30-an hingga 40-an.
"Mereka dibawa tanpa persetujuan tulus orang tua. Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," kata Galuh Wandita, koordinator program reuni itu.
Baca Juga: Dilakukan pada Bulan Puasa, Serbuan Militer Mesir Operation Badr Sempat Bikin Israel Kocar-kacir
Menurutnya, militer Indonesia ingin "mengadopsi" anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.
"Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," katanya.
Tentang Alberto, kini ia sudah menikah dan telah menjadi seorang kakek.
Ia mengaku tidak pernah merasa betul-betul kerasan di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.
Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun.
Selama Albrto tak diketahui keberadaannya, keluarga menganggapnya telah dibunuh oleh militer Indonesia atau kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste.
Bahkan, meski tanpa jasad mereka membuat makam untuk Alberto agar bisa berdamai dengan masa lalu.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini