Advertorial
Intisari-online.com -Wacana pembubaran perang Afghanistan yang telah menjadi janji kampanye Presiden AS Barack Obama dan Donald Trump akhirnya terlaksana.
Hanya saja, pelaksanaannya ternyata baru terjadi pada saat Presiden Joe Biden menjabat.
Melansir The Strategist, Joe Biden telah berhasil melakukan apa yang ingin dilakukan Barack Obama dan Donald Trump tapi tidak bisa mereka lakukan.
Merencanakan memulangkan total seluruh tentara militer AS dari Afghanistan dan mengakhiri perang setelah 20 tahun berlangsung akhirnya terlaksana era Joe Biden.
Namun perang ini tidak berakhir dalam kondisi yang baik.
Hanya saja, Biden perlu melakukan ini karena prioritas AS telah bergeser sekarang.
AS pimpinan Joe Biden terlibat dalam membangun kembali kekuatan ekonomi dan kohesi nasional.
Tidak hanya itu, Biden ingin membangun kembali kepemimpinan sipil dan keamanan nasional.
Tentunya ini melibatkan diperkuatnya persekutuan AS dengan mitra internasional termasuk dalam ranah ekonomi, teknologi dan elemen keamanan.
Menangani terorisme tetap agenda, tapi kini prioritasnya lebih kecil daripada di era 9/11.
Terorisme juga menjadi ancaman yang menyebar, tidak hanya terpusat di Afghanistan.
Fakta jika agenda lokal dan kebijakan luar negerinya sejajar artinya ketakutan di berbagai ibukota negara jika Biden akan memimpin AS yang introspektif sudah salah sasaran.
Juru bicara Gedung Putih mengatakan:
Biden sangat yakin jika menangani ancaman dan tantangan 2021, tidak seperti di tahun 2001, kita perlu memusatkan energi, sumber daya, personil, kebijakan luar negeri dan kepemimpinan keamanan nasional untuk ancaman yang paling akut untuk AS: tantangan kompetisi dengan China, yang muncul karena pandemi ini dan pandemi masa depan, pada tantangan yang diberikan oleh ancaman teroris tersebar ini ke berbagai negara.
Pada kasus Obama, 'pivot' Pasifik tidak pernah terjadi karena ia tidak akan mengalihkan komitmen AS, terutama dari konflik Afghanistan.
Sementara pada kasus Trump, kebijakan yang koheren dihindarinya, dan kebijakan China yang sukses dicapai dengan mengisolasi sekutunya lewat administrasi yang kurang baik.
Menginvestasi ulang dalam kekuatan teknologi AS dan terlibat kembali dengan sekutu adalah prinsip dasar AS era Biden.
Kemudian, beginilah rencana Biden melawan Xi Jinping.
Cara Biden dimulai dengan melawan agresi militer China di Taiwan.
Biden sudah mengirim 'delegasi informasi' ke Taiwan pada saat ia umumkan akhir dari kehadiran tentara AS di Afghanistan.
Xi Jinping kini mengatakan kepada dunia jika kebangkitan China tidak dapat dihindari, dan juga keruntuhan AS dan sekutu 'Barat'.
Karena penilaian ini, ia telah mengambil risiko yang telah terbayar, di Laut China Selatan, di Xinjiang, dan di Hong Kong.
Serta, konsekuensi kebijakan mengambil risiko oleh pemerintah China itu telah minimal.
Sanksi pada pejabat China yang tingkatnya lebih rendah ada pada penyiksaan di Xinjiang, dan pejabat Hong Kong terlibat dalam melaksanakan represi kasar Beijing atas kebebasan politik di sana.
Xi tidak akan mempertimbangkan berhenti, karena sekarang kebijakannya bergerak maju dengan pesat dalam prioritas lokal dan politik, yaitu penggabungan kembali Taiwan dengan China, yang bisa dipaksakan melalui serangan militer.
Keputusan Biden untuk mengakhiri perang Afghanistan artinya perhatian AS telah berpindah ke kompetisi dengan China.
Pernyataan dari pemerintah Xi adalah Taiwan penting bagi rakyat China lebih daripada rakyat negara lain, sehingga tidak akan ada yang berkorban apapun jika melawan pencaplokan Beijing.
Nyatanya, Taiwan penting bagi AS, dan bagi Australia, jauh melebihi pernyataan seperti Aksi Hubungan Taiwan yang ditulis AS.
Negara itu tetap menjadi sekutu menguntungkan bagi AS baik secara ekonomi, teknologi, dan geopolitik.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini