"Vaksin dendritik ini belum bisa dilanjutkan ke fase II, sudah clear kan, karena ada temuan-temuan correction action, preventive action. Koreksi-koreksi yang diberikan oleh Badan POM itu harus ada perbaikan dulu kalau mau lanjut ke fase II," tutur Penny.
Pernyataan ini seturut dengan pernyataan Penny tentang vaksin Nusantara yang loncati kaidah saintifik hingga punya efek samping yang tinggi.
Bahkan BPOM sampai menyebut bahwa tim peneliti vaksin Nusantara tak memahami proses pengembangan vaksin.
Menurut Penny, seharusnya Vaksin Nusantara harus melalui tahapan preclinic terlebih dahulu sebelum masuk tahap uji klinik tahap I. Namun, tim yang memproses vaksin tersebut menolak.
“Nah Vaksin Nusantara itu loncat, pada saat itu sebenernya di awal-awal pada saat pembahasan awal itu tidak, harus preclinic dulu ya, tapi mereka menolak,” kata Penny kepada Kompas.com, Rabu (14/4/2021).
Belum lagi fakta bahwa banyaknya jumlah relawan uji klinis vaksin Nusantara yang mengalami kejadian yang tak diinginkan.
Tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.
Penny mengatakan, KTD pada relawan antara lain nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Menurut Penny, KTD juga terjadi pada relawan grade 3 pada 6 subjek.
Source | : | Kompas.com,litbang.kemendagri.go.id |
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR