Intisari-Online.com - Di Tasitolu, pinggiran kota di barat ibukota, Dili, Batista Elo menggendong putrinya yang masih kecil di pinggulnya saat dia berdiri di air banjir yang mencapai pahanya.
“Saya selamatkan keluarga dulu dan setelah itu harta benda, tapi ada beberapa hal yang tidak terselamatkan,” kenang Batista tentang Sabtu malam yang liar saat rumahnya tiba-tiba dilanda banjir.
“Sekarang saya tidak punya tempat tinggal."
"Saya tinggal sementara di rumah saudara laki-laki saya,” katanya.
Batista adalah satu dari ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal di Timor-Leste setelah topan tropis melanda.
Sedikitnya 157 orang tewas - 130 di Indonesia dan 27 di Timor-Leste, termasuk 13 di Dili.
Puluhan lainnya hilang.
Pada hari Selasa, meskipun air banjir sedang surut di seluruh Dili, rumah Kanisius Elo masih tergenang air kotor setinggi lima meter.
“Saat saya bangun, rumah sudah penuh dengan air,” kenang Kanisius tentang Sabtu malam.
Ia khawatir jika permukaan air tidak turun sebentar lagi rumahnya akan hilang.
“Jika air ini kering dalam beberapa hari ke depan saya akan kembali ke rumah saya tetapi jika tidak mengering selama satu atau dua bulan, maka rumah saya akan hilang.”
Baik Kanisius maupun Batista belum pernah menerima bantuan kemanusiaan dari pemerintah dan berharap pemerintah akan mengunjungi rumah mereka sehingga mereka dapat melihat kenyataan tentang apa yang terjadi.
“Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, tapi saya berharap pihak berwenang semoga berusaha mengurangi air ini di masa mendatang,” kata Kanisius.
“Masalah terbesarnya sekarang adalah penyediaan air bersih dan makanan.”
Sekitar 8.000 orang kehilangan rumah dan mengungsi di beberapa tempat di Dili, kata juru bicara pemerintah Fidelis Leite Magalhaes pada konferensi pers pada hari Senin terkait banjir NTT.
Fidelis mengatakan, pemerintah akan berupaya memperbaiki beberapa jalan umum yang terputus akibat banjir besar.
Hampir semua kantor di Dili terendam banjir.
Pekerjaan normal telah ditangguhkan di seluruh kota karena pegawai sipil fokus pada pembersihan lumpur di tempat kerja mereka.
Bencana Klasik Kelaparan Timor Leste
Banjir hebat itu terjadi, saat Timor Leste belum lepas dari bencana klasik kelaparan.
Laporan IPC 2018 oleh mitra nasional dan pemerintah menemukan bahwa hanya seperempat populasi negara yang aman pangan.
Itu menunjukkan bahwa 36 persen mengalami kerawanan pangan kronis, yang didefinisikan oleh ketidakmampuan jangka panjang untuk memenuhi persyaratan konsumsi makanan.
Sekitar 175.000 orang menderita tingkat ketidakamanan pangan yang parah.
Kekuatan pendorong di balik kelaparan bangsa berbeda-beda di setiap provinsi.
Namun secara umum, penduduk setempat tidak mengakses atau mengonsumsi jenis makanan yang tepat.
Gizi buruk, disebabkan ketergantungan yang meningkat pada makanan impor berkualitas rendah, seperti beras putih bersubsidi dan, terutama mie instan.
Hasilnya adalah tingkat kekurangan gizi, anemia dan berdampak pada perkembangan otak di kalangan anak-anak.
Tingkat hipertensi, penyakit jantung dan obesitas terus meningkat.
Pada saat yang sama, ketahanan alami terhadap dunia yang memanas semakin berkurang.
Perubahan iklim memberi tekanan lebih besar pada produsen makanan subsisten.
Di Timor-Leste, curah hujan pada 2019 adalah yang terendah dalam satu dekade.
Pada akhir abad ini, para ahli di negara tersebut telah memperkirakan kenaikan suhu sebesar 3 derajat, yang akan berdampak buruk pada kemampuan pertanian negara tersebut dan besarnya bencana alam, termasuk kekeringan dan banjir.
Di desa-desa yang kering, tanaman yang ditanam secara teratur berjuang dalam kondisi tersebut.
Pada saat yang sama, makanan asli terbukti lebih sulit diakses dan dibudidayakan.
Hal ini memicu ketergantungan pada produk yang dibeli dari pasar.
(*)