Negara-negara miskin akan terpaksa mengambil kredit bermasalah demi menyelamatkan perekonomian.
Para peneliti melanjutkan, "Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional.”
Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi ‘diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban,” tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.
Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang.
Contohnya, Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.
Source | : | kompas |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR