Intisari-online.com -Negeri Pagoda Emas atau Myanmar tengah menghadapi masalah serius terkait penerusan kekuasaan.
Sebenarnya, masalah kudeta militer ini bisa disederhanakan menjadi masalah dua pribadi: Aung San Suu Kyi dan Min Aung Hlaing.
Dilansir dari Lowy Institute, siapapun yang melihat foto dan video kejadian di Myanmar bisa dimaafkan karena berpikir konfrontrasi kekerasan antara demonstran dan pasukan keamanan tunjukkan perang proksi antara Konselor Negara yang diasingkan Aung San Suu Kyi dan Pemimpin Komando Pasukan Pertahanan, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Demonstran membawa kertas poster bergambar pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD).
Massa melakukan protes duduk dengan menggunakan topeng karton tunjukkan wajah Suu Kyi.
Min Aung Hlaing juga ada di poster mereka, tapi wajahnya disilang.
Jalanan Myanmar kini ditutupi dengan poster-poster itu.
Pandangan biner ini menarik dalam hal kesederhanaannya, tapi gagal memperhitungkan masalah-masalah kompleks yang berada di balik kudeta militer 1 Februari.
Meski begitu, di tingkat lain, ide ini memiliki kepantasannya, mengakui tradisi politik negara yang sangat dijadikan masalah personal dan kemampuan individu terpilih di Myanmar, jika waktunya tepat, untuk mengubah jalannya sejarah.
Sudah jadi kasus lama jika partai politik, organisasi masyarakat sipil dan kelompok bersenjata di Myanmar kalah daripada sosok kuat dan karismatik.
Institusi sangatlah lemah, dan birokrasi tidak efisien serta korup.
Kebijakan yang dideklarasikan jarang terlihat sebagai dasar kuat untuk aksi masa depan.
Legitimasi menurun bukan dari dasar struktural tapi dari faktor tidak tertentu seperti karakter seseorang, latar belakang, dan karma.
Aksi berpusat ke sosok itu ditampilkan seperti pengawasan, berkumpul di sekitarnya dan sangat setia kepada pemimpin mereka daripada ke institusi.
NLD sendiri dimulai dengan kolektif pemimpin dan dewan, tapi segera berubah menjadi mengandalkan popularitas dan kepribadian Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi adalah anak dari Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar, yang dibunuh pada 1947.
Sejak Aung San Suu Kyi dilepaskan dari tahanan rumah tahun 2010, ia telah mendominasi partai, mendikte kebijakan-kebijakan yang ada, membalikkan keputusan kunci kepada dirinya dan memaksakan keinginannya kepada koleganya, termasuk anggota terpilih di parlemen.
Dengan menyingkirkan musuhnya, menghentikan kritik untuknya dan memberi penghargaan pasukan yang setia, ia telah memastikan tidak ada lagi yang menantang posisi menjulangnya.
Ia menjadi sosok dari partai dan tidak punya penerus.
Meskipun berkuasa 5 tahun, NLD gagal menjalankan banyak reformasi yang dijanjikan sebelum pemilihan 2015.
Juga, Aung San Suu Kyi secara dramatis jatuh di mata komunitas internasional setelah pertahanan publiknya mengenai kampanye genosida terhadap Rohingya tahun 2016-2017.
Meski begitu, ia tetap populer di Myanmar.
Tradisi politik personal ini meluas ke pasukan keamanan.
Meskipun ada struktur peringkat formal dan hierarki organisasi atas jasa mereka, militer dan petugas polisi senior selalu tumbuhkan sekelompok pendukung, yang berikan kesetiaan pribadi kepada mereka.
Sejauh sistem memperbolehkan, mereka bertindak sebagai pelindung, dan bawahan mereka menjadi anak didik.
Jaringan dukungan informal ini seringnya bertindak dalam sistem yang paralel dengan itu.
Salah satu gambaran praktik ini, meski begitu, adalah gugurnya pejabat senior dapat berarti dukungannya gugur bersamanya.
Contohnya tahun 2004, ketika Jenderal Khin Nyunt, kepala intelijen yang kuat, ditahan dan disidang oleh musuhnya di dalam pasukan bersenjata.
Hampir seluruh pasukan intelijen militer dipindahkan saat itu, karena dipikir mereka setia kepadanya dan menjadi ancaman lebih besar.
Min Aung Hlaing adalah pejabat paling senior di pasukan bersenjata Myanmar dan melalui berbagai penunjukan militer, juga mengontrol pasukan polisi negara dan agen intelijen.
Min Aung Hlaing dilaporkan mengontrol, egois, dan ambisius dan siap meraih kekuasaan tanpa ragu mencapai tujuannya.
Ia naik pangkat dengan mantap, meskipun menjadi tidak populer karena gagal merawat pasukan bawahannya.
Ia mendapatkan reputasi sebagai pelaku tindakan kejam yang lakukan operasi terhadap pemberontak etnis dan tidak ragu dalam memerintahkan "pembersihan wilayah" yang brutal terhadap Rohingya.
Kedua sosok kunci ini sama-sama dianggap ceroboh, berkeinginan kuat dan tidak mau melihat sudut pandang orang lain.
Mereka juga memiliki kepentingan pribadi yang dipertaruhkan, Aung San Suu Kyi merasa menjadi pemimpin Myanmar adalah takdirnya sebagai anak pahlawan Myanmar, sedangkan Min Aung Hlaing akan pensiun Juli 2021 dan belum ingin kehilangan kekuasaannya.
Melihat yang sekarang terjadi, tidak ada yang menyarankan Aung San Suu Kyi menyerahkan kemenangan NLD dalam pemilu kemarin, yang dilihat pengamat netral sebagai keinginan negara untuk memiliki pemerintahan demorkasi.
Namun, harga menantang visi 'melayani diri sendiri dari 'demokrasi yang disiplin' akan tampak sebagai jatuhnya pemerintahan, dan akhirnya menghancurkan Myanmar sendiri.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini