Takhayul ini aslinya bukanlah menghilangkan kekuatan pria karena perempuan kotor, perempuan dipandang sebagai makhluk seksual atau penggoda yang dapat menghancurkan pria yang lemah," timbuh kata Aye.
Dia menjelaskan tradisi Htamein juga digunakan sebagai simbol keberuntungan.
"Pria yang pergi berperang akan menggulung potongan kecil dari sarung ibu mereka, dan memakainya sebagai anting-anting, dan para pengunjuk rasa selama masa pemberontakan 8888 (pada 1998) mengenakan kain sarung ibu mereka sebagai bandana," kata MiMi Aye.
Para pengunjuk rasa perempuan sekarang memilih memanfaatkan kekuatan kain sarung di ruang publik.
Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret kemarin, mereka mengikat kain sarung ke tiang bendera sebagai bagian apa yang mereka sebut sebagai Revolusi Sarung.
Aktivis pro-demokrasi, Thinzar Shunlei Yi memposting fotonya di internet dengan menuliskan, "Dengan jubah saya...Kain sarung saya telah melindungi saya, lebih baik dari militer di Myanmar."
Sejumlah pengunjuk rasa bahkan menempelkan foto Jenderal senior Min Aung Hlaing-yang merebut kekuasaan-pada pembalut dan disebar di jalan-jalan.
Tujuannya untuk menghambat gerak langkah pasukan militer, karena mereka tak mau menginjak wajah pemimpinnya yang tertempel pada pembalut itu.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR