Intisari-online.com -Perlawanan rakyat Myanmar melawan junta militer masih terus berlanjut.
Selain upaya yang dilakukan para tokoh revolusi muda atau milenial yang sebagian besar baru mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, perlawanan juga dilakukan oleh warga-warga desa.
Urusan klenik dan takhayul pun tak urung dijadikan senjata.
Dikutip dari BBC, perempuan Myanmar menggunakan takhayul sarung yang sudah dipercaya secara luas.
Gerakan ini pun disebut sebagai "Revolusi Sarung".
Ada kepercayaan yang dianut secara luas di Myanmar, yaitu jika seorang pria berjalan di bawah kain sarung perempuan (htamein, dalam bahasa Burma), maka dia akan kehilangan sebagian kekuatan atau kejayaannya, yang dikenal sebagai "hpone".
Untuk menghentikan langkah pasukan keamanan yang masuk ke area pemukiman warga untuk melakukan penangkapan, para perempuan menggantungkan kain sarung mereka di tali jemuran yang dipasang di atas jalanan.
Di sejumlah tempat, cara ini cukup berhasil, seperti yang dilansir dari BBC pada Rabu (10/3/2021).
Video yang beredar di media sosial menunjukkan polisi menurunkan sarung-sarung dari jemuran tersebut, ketika mereka akan melintasi jalanan.
Para pengunjuk rasa menyerukan untuk mengakhiri pemerintahan militer di Myanmar, dan membebaskan para pemimpin pemerintah yang dipilih secara demokratis, termasuk Aung San Suu Kyi yang telah ditahan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari lalu.
Militer telah menanggapi "kecurangan pemilu", dan menyerahkan kekuasaan pada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Militer juga memberlakukan keadaan darurat selama setahun.
Jenderal Min Aung Hlaing telah lama memiliki pengaruh terhadap politik, dan berhasil mempertahankan kekuatan militer Myanmar yang disebut juga Tatmadaw, bahkan ketika negara itu sedang bergerak menuju demokrasi.
Kepercayaan yang dianut secara luas Untuk memulai "Revolusi Sarung", para perempuan mengandalkan takhayul yang dianut secara luas.
"Saya dibesarkan dengan takhayul bahwa Htamein (sarung) perempuan adalah kain najis yang akan menurunkan kekuatan saya, jika diletakan di atas saya, dan banyak teman saya membagikan mitos ini," kata seorang mahasiswa, Htun Lynn Zaw.
Seorang penulis sekaligus podcaster Burma, MiMi Aye, yang saat ini tinggal di Inggris, mengatakan aktivis perempuan menggunakan takhayul seksis ini demi keuntungan mereka."
Takhayul ini aslinya bukanlah menghilangkan kekuatan pria karena perempuan kotor, perempuan dipandang sebagai makhluk seksual atau penggoda yang dapat menghancurkan pria yang lemah," timbuh kata Aye.
Dia menjelaskan tradisi Htamein juga digunakan sebagai simbol keberuntungan.
"Pria yang pergi berperang akan menggulung potongan kecil dari sarung ibu mereka, dan memakainya sebagai anting-anting, dan para pengunjuk rasa selama masa pemberontakan 8888 (pada 1998) mengenakan kain sarung ibu mereka sebagai bandana," kata MiMi Aye.
Para pengunjuk rasa perempuan sekarang memilih memanfaatkan kekuatan kain sarung di ruang publik.
Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret kemarin, mereka mengikat kain sarung ke tiang bendera sebagai bagian apa yang mereka sebut sebagai Revolusi Sarung.
Aktivis pro-demokrasi, Thinzar Shunlei Yi memposting fotonya di internet dengan menuliskan, "Dengan jubah saya...Kain sarung saya telah melindungi saya, lebih baik dari militer di Myanmar."
Sejumlah pengunjuk rasa bahkan menempelkan foto Jenderal senior Min Aung Hlaing-yang merebut kekuasaan-pada pembalut dan disebar di jalan-jalan.
Tujuannya untuk menghambat gerak langkah pasukan militer, karena mereka tak mau menginjak wajah pemimpinnya yang tertempel pada pembalut itu.
Pria seperti mahasiswa bernama Htun Lynn Zaw juga mengambil bagian dari gerakan ini, membalut kepalanya dengan kain sarung.
"Ini adalah cara untuk mendukung dan bersolidaritas dengan perempuan-perempuan pemberani yang melakukan protes," katanya di media sosial.
Sejauh ini, lebih dari 54 orang, kebanyakan perempuan, telah dibunuh oleh pasukan keamanan dalam unjuk rasa, menurut kantor urusan Hak Asasi Manusia PBB.
Puluhan negara telah mengutuk aksi kekerasan tersebut, akan tetapi seruan itu diabagikan oleh para pimpin militer.
Akan tetap, perempuan yang berunjuk rasa menolak untuk diam, mereka menggunakan kain sarung untuk menentang kekuasaan militer.
Slogan mereka adalah "Sarung Kami, Panji Kami, Kemenangan Kami".
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini