Intisari-online.com -Kudeta militer Myanmar yang dipimpin oleh junta militer negara Pagoda Emas belum menunjukkan niat untuk mengurangi ketegangan penggulingan pemerintah.
Bahkan kini mereka memanggil bala bantuan dari negara tetangga, Thailand.
Melansir Channel News Asia, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha dikirimi surat dari Myanmar.
Chan-o-cha mengatakan pada 10 Februari lalu jika ia telah menerima surat dari pemimpin junta militer Myanmar baru, meminta bantuan mendukung demokrasi.
Chan-o-cha yang menggulingkan perdana menteri terpilih tahun 2014 dan tetap berada di kantor perdana menteri setelah pemilihan tahun 2019 yang disebut rivalnya sangat curang, mengatakan reporter di Bangkok jika ia selalu mendukung demokrasi di negara tetangga tersebut.
Militer di bawah pimpinan Min Aung Hlaing menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu menahannya, dengan menuduh adanya penipuan di pemilu tahun lalu yang dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi.
Komisi pemilihan Myanmar telah menolak klaim Tatmadaw, militer Myanmar.
"Kami suportif dalam proses demokrasi di Myanmar, tapi yang paling penting hari ini adalah mempertahankan hubungan baik karena hal itu mempengaruhi warga, ekonomi, perdagangan di perbatasan terutama sekarang," ujar Chan-o-cha.
"Thailand mendukung proses demokrasi. Sisanya terserah pada dia bagaimana kelanjutannya," ujar Chan-o-cha.
Sejak kudeta, Myanmar telah mengalami protes terbesar dalam 10 tahun terakhir, dengan pendukung Aung San Suu Kyi menantang kudeta yang menghentikan transisi tentatif ke demokrasi selama satu dekade, atau 10 tahun.
Thailand menyaksikan demo terbesar dalam 10 tahun tahun lalu saat musuh Chan-o-cha menuntutnya untuk mundur, menuduhnya memanipulasi pemilihan Thailand terakhir.
Bagi musuh Chan-o-cha, hal itu ia lakukan untuk melanjutkan dominasi politik Thailand dengan militer dan monarki.
Ia menampik semua tuduhan tersebut.
Bahkan ia berhasil menghapuskan citra diktator lewat cara yang mirip dengan cara SBY ini.
Chan-o-cha diangkat menjadi komandan Divisi Infanteri Kedua dari Pengawal Kerajaan pada Oktober 2003.
Tiga tahun kemudian, Prayut dipromosikan menjadi komandan wilayah Angkatan Darat pada 2006 karena mendukung panglima militer Jenderal Anuphong Phaochinda selama kudeta tahun itu.
Kudeta tersebut dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan perdana menteri saat itu Thaksin Shinawatra.
Kesetiaan Prayut kepada Anuphong berubah menjadi kemitraan setelah mereka membentuk kelompok pemimpin militer yang dikenal sebagai Macan Timur.
Pada Oktober 2009, Prayut diangkat sebagai Wakil Kepala Angkatan Darat Thailand.
Setahun kemudian, ia menggantikan posisi Anupang sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat Thailand pada 25 September 2010.
Pada Juni 2011, ia meninggalkan posisinya dan menegaskan bahwa tentara tidak akan ikut campur dalam politik.
Ia juga mengimbau para pemilih untuk mendukung "orang baik" dalam pemilu.
Imbauan ini secara luas ditafsirkan sebagai petunjuk untuk memilih Yingluck Shinawatra, saudara perempuan Thaksin.
Ia maju lagi dalam konflik politik antara pemerintah Yingluck dan partai oposisi, dan mengumumkan kudeta pada 22 Mei 2014.
Selanjutnya, pemerintahan militer yang secara resmi dikenal sebagai Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) menangguhkan konstitusi dan memilihnya sebagai perdana menteri negara pada 21 Agustus 2020.
Prayut memberlakukan konstitusi sementara yang memberi kewenangan pemerintah militer untuk berkuasa secara bebas.
Pasal 44 dari konstitusi memastikan kewenangan absolutnya untuk mengeluarkan perintah terhadap aktivitas apa pun yang dianggap pemerintah sebagai ancaman terhadap ketertiban, keamanan nasional, atau monarki.
Bersama dengan pembatasan pada kebebasan sipil, media, dan perbedaan pendapat, Prayut mengambil langkah untuk mengubah citranya menjadi seorang pemimpin yang baik hati.
Ia menulis lagu berjudul "Kembalikan Kebahagiaan Thailand" dan menyiarkannya secara luas di radio dan stasiun televisi.
Cara inilah yang mirip dengan cara SBY melancarkan demokrasi di Indonesia.
Tak hanya itu, The Nation Books menerbitkan biografinya berjudul "Namanya Tu", berisi perjalanannya menjadi seorang pemimpin dan lebih banyak menonjolkan sisi lembutnya daripada kepribadian otoriternya.
Prayut menuai kontroversi karena perilakunya yang impulsif dan marah terhadap media setelah menjadi kepala negara.
Namun, sikap itu berubah menjelang pemilu 2019.
Tim kampanye Prayut justru aktif di berbagai media sosial dan mengunggah foto-fotonya.
Dalam pemilu tersebut, Partai Palang Pracharath menominasikan Prayut sebagai kandidat perdana menteri.
Parlemen Thailand yang didominasi oleh anggota pemerintahan militer kemudian memilihnya sebagai perdana menteri pada 5 Juni 2019.
Militer Myanmar dan Thailand telah memiliki hubungan dekat dalam 10 tahun terakhir, meskipun sejarah yang kurang enak antara dua negara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini