Advertorial
Intisari-Online.com-Protes rakyat Thailand tidak kunjung selesai sejak tiga bulan lalu.
Pemicu awal munculnya tuntutan di jalanan tersebut akibat tuntutan reformasi monarki dan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Yang terbaru, pengunjuk rasa Thailand memberikan ultimatum 3 hari kepada Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha untuk mengundurkan diri dan memenuhi tuntutan utama mereka, yaitu reformasi monarki.
Ribuan pengunjuk rasa pada Rabu (21/10/2020) malam menerobos barikade polisi dan kawat berduri untuk demo di depan kantor resmi Prayut.
Mereka berkumpul di dekat gedung, yang dikenal sebagai Gedung Pemerintah, tak lama setelah perdana menteri mengatakan pemerintahnya siap untuk mencabut aturan darurat yang melarang pertemuan besar di ibu kota, jika protes tetap damai.
"Kami mengajukan surat pengunduran diri Prayut, yang merupakan salah satu dari tiga tuntutan kami," kata Pemuda Bebas, salah satu organisasi protes utama, dalam sebuah posting Facebook pada Rabu malam.
"Jika pemerintah tidak memberikan jawaban dalam 3 hari, rakyat akan kembali dengan tuntutan lebih tinggi dari sebelumnya," lanjutnya seperti yang dilansir dari The Strait Times pada Kamis (22/10/2020).
Prayut telah berjuang untuk membendung demonstrasi jalanan yang memuncak, yang telah menggunakan demonstrasi pop up ala Hong Kong untuk menghindari polisi dan menentang keputusan darurat yang dikeluarkan pekan lalu.
Pemerintah tidak menunjukkan tanda-tanda untuk memenuhi ultimatum pengunjuk rasa, yang akan melengserkan elit royalis yang telah mempertahankan kekuasaan di sebagian besar sejarah Thailand.
Namun, nampak pemerintah Thailand juga berusaha untuk menghindari pertumpahan darah yang dapat mengguncang ekonomi lebih lanjut.
"Saya akan mengambil langkah pertama untuk meredakan situasi ini," kata Prayut dalam pidatonya di depan negara pada Rabu.
"Saya saat ini bersiap untuk mencabut keadaan darurat yang parah di Bangkok dan akan melakukannya segera, jika tidak ada insiden kekerasan," ujarnya.
Protes tersebut didorong oleh pertumbuhan lamban ekonomi dalam negeri selama bertahun-tahun, yang sekarang diperburuk oleh pandemi virus corona.
Pandemi itu telah menempatkan ekonomi Thailand pada kinerja terburuknya dengan menggagalkan 2 pendorong ekonomi utama, yaitu pariwisata dan perdagangan.
Indeks SET acuan saham juga telah kehilangan 23 persen tahun ini.
Pasar keuangan Thailand akan mengambil pendekatan menunggu dan melihat protes dan tanggapan pemerintah, kata Dr Tim Leelahaphan, ekonom di Standard Chartered Bank Pcl di Bangkok.
"Masih harus dilihat apakah keadaan darurat akan mengganggu rencana pemerintah untuk secara bertahap membuka kembali pariwisata bagi pengunjung asing mulai bulan ini," kata Leelahaphan.
"Sementara situasi politik sejauh ini terkendali, protes yang berlarut-larut bukan pertanda baik bagi pemulihan ekonomi Thailand," imbuhnya.
Demonstrasi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, dan bahkan mulai menyebar ke bagian lain Thailand.
Masyarakat Thailand juga telah keluar dari anggapan tabu tentang mengkritik keluarga kerajaan secara terbuka, dengan menuntut agar raja tidak lagi mendukung kudeta.
Mereka menuntut transparansi tentang bagaimana dana negara dihabiskan, dan menyingkirkan undang-undang yang menghambat diskusi tentang keluarga kerajaan.
Unjuk rasa serentak oleh kelompok pro-royalis untuk mendukung Raja Maha Vajiralongkorn juga menimbulkan kekhawatiran bentrokan antara kelompok yang bersaing.
Gerakan protes pada masa lalu di Thailand telah berakhir dengan bentrokan berdarah yang keras. Bentrokan terakbhir sebelum tahun ini adalah pada 2010.
Prayut, mantan panglima militer yang melancarkan kudeta pada 2014, mendesak para pengunjuk rasa untuk mempercayai proses parlemen untuk mengatasi keluhan mereka.
Ia menyampaikan itu selama sesi khusus yang direncanakan pekan depan dan mengatakan pemerintah, serta para aktivis harus "masing-masing mundur" dan "mencari tahu solusi untuk masalah".
Raja mendukung sesi yang akan diadakan mulai 26 Oktober, menurut pemberitahuan Royal Gazette pada Rabu.
Para pengunjuk rasa yang dipimpin pemuda juga menyerukan pengunduran diri pemerintahan Prayut dan penulisan ulang konstitusi, yang dirancang oleh panel yang ditunjuk militer setelah kudeta 2014.
Para aktivis mengatakan piagam itu penting dalam membantu Prayut mempertahankan kekuasaan setelah pemilu 2019.
Prayut mengatakan sudah waktunya untuk memutus siklus para pemimpin pemerintah yang harus menghadapi gerombolan kelompok yang berlawanan untuk mencegah negara menjadi tidak dapat diatur dan turun ke dalam kekacauan.
"Satu-satunya cara pasti untuk mencapai resolusi yang berkelanjutan dan bertahan lama untuk masalah-masalah tersebut adalah dengan berbicara satu sama lain, menghormati proses hukum yang berlaku, dan kemudian membiarkan keinginan rakyat diselesaikan di parlemen," kata Prayut.
"Hanya itu caranya," pungkasnya.
Shintaloka Pradita Sicca
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Warga Thailand Ultimatum PM Prayut Chan-o-cha untuk Mengundurkan Diri dalam 3 Hari Ini"