Advertorial
Intisari-Online.com - Warga Timor Leste terbagi menjadi kelompok pro- kemerdekaan dan pro-integrasi selama pendudukan Indonesia.
Ada yang menginginkan Timor Leste, yang saat itu bernama Timor Timur, lepas dari Indonesia, ada pula yang menginginkannya tetap menjadi wilayah Indonesia.
Perpecahan Timor Leste menjadi dua kelompok itu pun memakan banyak korban.
Seperti yang terjadi di tahun 1991, di sekitar peristiwa yang kini dikenal sebagai tragedi Santa Cruz atau pembantaian Santa Cruz.
Bentrokan dua kelompok tersebut memakan korban jiwa, salah satunya tewasnya Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi, sementara dari kelompok pro-kemerdekaan yaitu Sebastiao Gomes.
Kemudian, setelah hasil referendum Timor Timur diumumkan, kerusuhan juga pecah, diyakini menewaskan sekitar 1.400 penduduk.
Disebut militan anti-kemerdekaan yang memulai serangan terhadap warga sipil yang kemudian meluas di seluruh Timor Leste dan berpusat di ibu kota Dili.
Bahkan, saat itu di Timor Leste, satu keluarga pun dapat memiliki pilihan yang berbeda, antara merdeka dan bergabung dengan Indonesia, dan pada akhirnya memisahkan mereka.
Keluarga Muhajir Hornai Bello, seorang pengunsi Timor Leste di Indonesia, menjadi salah satunya.
Melansir Tribun Papua (2/9/2019), Muhajir telah mengungi ke Desa Noelbaki, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau wilayah Timor Barat pasca referendum tahun 1999.
Ia dan beberapa anggota keluarganya tiba dan mengungsi ke wilayah Indonesia tersebut dengan menumpang kapal TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Bukan hanya keluarga Muhajir saja, namun juga sekitar 1.000 orang pengungsi lain dari sejumlah kabupaten.
"Kira-kira seribu lebih orang ada di kapal itu," ungkapnya.
Di desa itu, Muhajir tinggal bersama 3000 orang lainnya yang sama-sama mengungsi dari Timor Leste, ia tinggal di rumah darurat beratapkan seng.
"Saya dulu di Timor Leste di Kabupaten Viqueque."
"Saya pindah sama keluarga, mengungsi ke negara Indonesia. Termasuk bapak, mama, istri, anak semuanya ikut," ujar mantan petani ini mengawali perbincangan dengan ABC.
Namun, Muhajir juga harus terpisah dari anggota keluarganya yang lain karena berbeda pilihan.
Merekalah satu-satunya yang dirindukan dari masa lalunya di Timor Leste.
Di kampung halaman yang berjarak 12 jam berkendara dari Kupang itu, tinggallah sang adik dan keluarga dari orangtuanya.
"Banyak yang masih tinggal di Timor Leste, termasuk saudaranya bapak, saudara kakak bapak, saudara adik bapak, banyak yang masih di sana," cerita Muhajir.
Muhajir dan sebagian keluarganya memilih bergabung dengan Indonesia, sementara sebagian keluarga lainnya memilih kemerdekaan.
Perbedaan pilihan itu pun sempat membuat hdubungannya dengan sang adik juga terputus.
"Sempat putus komunikasi hampir 5 tahun,"
"Dulu kan anggaplah ideologi, namanya pilihan, mereka pilih merdeka, saya ingin bergabung dengan Indonesia itu artinya beda pendapat," katanya.
Mengambil jalan yang berbeda dengan adik dan sebagian keluarga lainnya, Muhajir mengaku merasa hidupnya jauh lebih baik di tanah pengungsian.
Ia menceritakan, bahwa justru saudaranya di Timor Leste mengambil berasnya di Kupang karena kualitas berast di Timor Leste kurang bagus.
"Malahan saudara saya yang di Timor Leste ambil berasnya dari Kupang terus dibawa ke sana."
"Di sana mereka punya beras kurang bagus makanya ambil di sini," ungkapnya.
Beberapa kali, adik Muhajir membawa ratusan kilo gram beras dari Kupang ke Timor Leste.
"Saya punya adik beberapa kali ke sini, tiap pulang selalu bawa kembali kurang lebih 100-200 kg beras ke Timor Leste," ceritanya.
Sementara itu, Muhajir mengaku enggan kembali ke kampung halaman. Ia enggan mengenang mimpi buruk semasa pra-referendum.
"Karena waktu kita masih di sana ya dua kubu, artinya kan kita bergerak kan tidak bisa, bidang pertanian ya tidak bisa,"
"Kalau di sini kita petani mau bekerja di pertanian bisa, karena aman untuk kita bekerja."
"Kalau dulu, kita mau bertani jauh darikampung itu kan kita takut, trauma, diteror, diancam sama kelompok-kelompok yang ingin merdeka," ungkapnya.
Mantan petani yang kini bekerja di peternakan ini memilih Indonesia dan ingin menghabiskan sisa hidupnya di negara ini.
Namun ada satu ganjalan yang selama 20 tahun ini menghantuinya, yaitu terkait status mereka yang selama ini tidak jelas.
Dua puluh tahun tinggal di Indonesia, Muhajir masih tinggal di pengungsian dan status tanah tempat tinggalnya tidak jelas.
"Itu yang menjadi persoalan bagi kami yang masih tinggal di pengungsian," katanya.
"Nasib kami sudah 20 tahun kok masih tinggal di pengungsian? Status tanahnya juga enggak jelas, ini yang selalu kami pikiri," ungkapnya.
Ia berharap Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan nasib pengungsi Timor Leste, terutama generasi muda, agar mereka terbebas dari pengangguran, tak seperti kebanyakan pengungsi tua yang bertahan di Noelbaki.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari