Advertorial
Intisari-online.com - Kemerdekaan Indonesia, menandakan bahwa NKRI adalah negara yang terbebas dari cegkeraman kolonialisme barat.
Hal itu ternyata menjadi kabar buruk bagi negeri tetangga Australia, seperti dalam tulisan The Strategist, yang mengulas, "Bisakah Indonesia Menjadi Ancaman Masa Depan Australia?".
Sejak kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno, Indonesia berubah menjadi negara yang Anti-Barat.
Dikatakan dalam tulisan itu, rezim Soekarno pada awal tahun 1960-an, menjalankan pemerintahan yang memusuhi barat termasuk Australia saat itu.
Hal itupun menjadi ancaman besar bagi Australia, bahkan berlanjut hingga masa invasi Indonesia ke Timor Leste yang berakhir tahun 1999.
Saat era Soekarno, Indonesia memiliki partai Komunis dengan jumlah massa terbesar di dunia, setelah China dan Uni Soviet.
Bahkan saat itu, Indonesia melancarkan serangan memusuhi Barat, melakukan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura, yang dibekingin Inggris dan Australia.
Tak main-main Indonesia juga memiliki segudang peralatan tempur menakutkan yang dibeli dari Moskow pada masa itu.
Pada Masa Soekarno, Indonesiadibekali oleh Moskow dengan peralatan militer canggih yang jauh lebih baik daripada Australia.
Ini termasuk 25 pembom Badger, 68 pesawat tempur MiG, satu kapal penjelajah Sverdlov, 15 kapal perusak, dan 12 kapal selam kelas Whiskey.
Akibatnya, Australia memutuskan untuk memesan pesawat pengebom F-111 yang mampu melakukan misi pengeboman ke Jakarta dan kembali tanpa mengisi bahan bakar dari lapangan udara di utara Australia.
Austraia juga memesan kapal selam kelas Oberon dan kapal perusak berpeluru kendali kelas Charles F. Adams.
Semua itu tiba-tiba berubah pada tahun 1965 ketika Sukarno digulingkan oleh Soeharto yang memperkenalkan pemerintahan militer yang pro-Barat.
Jadi, dari 1965 hingga 1998 Australia tidak mengalami ancaman militer dari Indonesia, era yang diklaim oleh Paul Keating sebagai keuntungan strategis terbesar yang pernah diberikan kepada Australia.
Meski rezim telah berubahperbedaan padangan Australia dengan Indonesia mengenai masalah Timor Timur, Irian Jaya dan Papua Nugini, dan kebebasan navigasi melalui selat Indonesia.
Membawanya ke arah ketegangan baru, di mana lagi-lagi Australia merasa terancam dengan Indonesia.
Sejak penggulingan rezim militer otoriter Presiden Suharto pada tahun 1998, Indonesia telah membuat kemajuan luar biasa dengan demokrasi barunya dan pertumbuhan masyarakat sipil.
Pertumbuhan Islam ke arah ekstrem dan tindak kekerasan massa dan premanisme, mengancam institusi demokrasi Indonesia.
Seperti yang diamati oleh Greg Fealy, demokrasi Indonesia sekarang sudah tercemar parah.
Tren mengkhawatirkan saat ini sehubungan dengan ledakan agama yangekstrem di Indonesia ke negara itu yang diprediksi bisa menjadi musuh Australiua.
Karena itu, Australia tidak mengabaikan kemungkinan tetangga Indonesia kita terjun ke dalam jenis nasionalisme religius ekstrim yang kita lihat di tempat lain di dunia.
Karena kedekatannya dengan Australia utara dan jalur komunikasi penting, serta ukuran dan susunan budayanya yang berbeda, Indonesia akan selalu memiliki atribut potensial sebagai teman baik dan dalam keadaan terburuk bisa menjadi musuh yang serius.
Tantangan strategis seperti itu di depan pintu akan memiliki implikasi besar bagi kesiapan pertahanan dan basis ekspansi ADF, serta anggaran Pertahanan negeri Kangguru.
Selain itu, dalam setiap Konfrontasi, tidak berarti Amerika akan selalu membelaAustralia jika menghadapi ancaman militer besar di tempat lain di kawasan itu.
Faktanya,pertumbuhan Islam ektrem dalam bentuk terorismedi Indonesia terus dipantau oleh Australia, meskipun belum menimbulkan ancaman bagi negeri kangguru.
Dennis Richardson, dalam pidato perpisahan kepada National Press Clup di Australia, perngat menyinggung pola ekstremis di Indonesia sudah memasuki politik arus utama di Indonesia.
Terlepas dari hal itu Australia pernah mengatakan jika Indonesia terus mengikuti jalur pertumbuhan ekonominya.
Indonesia akan berada di antara ekonomi terbesar keempat atau ketujuh di dunia pada pertengahan abad dengan populasi mendekati 370 juta orang. Ini akan menjadi kekuatan regional utama dunia.