Penulis
Intisari-online.com - Covid-19 telah merubah segalanya, termasuk impian dan cita-cita besar Timor Leste yang hancur lebur gara-gara pandemi ini.
Sejak memperoleh kemerdekaannya dari Indonesia tahun 2002, Timor Leste telah berjuang untuk menjadi negara maju.
Berbekal kekayaan alam minyak bumi, negara itu telah berjuang mati-matian putar otak untuk mengembangkan potensi minyak buminya.
Timor Leste berduel dengan negara tetangganya yang jauh lebih besar untuk menguasai ladang minyak mayoritas Greater Sunrise.
Sebanyak 70% ladang itu terletak di wilayah laut Timor Leste, dan sisanya 30% di wilayan Australia.
Dengan perkiraan cadangan lebih dari 5 triliun kubik, gas alam dan 226 juta barel minyak di Greater Sunrise diperkirakan bernilai 50 miliar dollar AS.
Namun angka itu terhitung sejak pandemi Covid-19 melanda.
Sisanya, Covid-19 telah membuat hanga minyak dan gas global jatuh, membuat impian besar Timor Leste gagal total.
Sebelumnya, Xanana Gusmao presiden pertama Timor Leste, telah mengusulkan proyek Tasi Mane untuk membangun negara tersebut.
Proyek ini memiliki nilai 18 miliar dollar AS atau sekitar Rp264 triliun, yang mencakup pembangunan kilang minyak LNG darat yang terhubung ke Greater Sunrise.
Di bawah pengawasan Gusmao, Timor Leste telah habiskan ratusan juta dollar untuk pembangunan bandara hingga jalan raya, sebagai program dari proyek Tasi Mane.
Timor Leste juga membeli mantan mitranya di Greater Sunrise, Conoco Philips dan Shell sebesar 650 juta dollar AS, dengan 57 persen saham.
Kemudian Woodside Petroleum Australia memegang 33% saham dan Osaka gas Jepang dengan 10%.
Begitu nekatnya Gusmao, sampai ia dianggap membahayakan kemerdekaan Timor Leste yang diperoleh dengan cara susah payah.
Proyek Tasi Mane dipercaya akan membawa Timor Leste menjadi negara maju, membakar anggaran 18 miliar dollar AS (Rp264 triliun), untuk pengembangan proyek minyak dan infratrsuktur.
Uang tersebut konon dipinjam dari Bank Exim milik negara China, menurut laporan Nikkei Asia.
Banyak yang khawatir jika Timor Leste akan jatuh ke dalam perangkap utang China, seperti yang menjerat banyak negara di kawasan pasifik.
Amerika Serikat melakukan survei, menilai proyek Tasi Mane yang dijalankan Timor Leste itu membawa risiko yang sangat besar.
Proyek Tasi Mane pertama kali terhenti pada Maret setelah Timor Leste mengonfirmasi kasus pertama COVID-19 dan mengumumkan keadaan darurat.
Negara yang bergantung pada minyak bumi juga harus secara radikal memotong pengeluaran publik pada bulan April setelah harga minyak mentah di AS memasuki wilayah negatif.
Ada lebih banyak kemunduran pada bulan Juni ketika partai Rekonstruksi Timor Leste Gusmao digulingkan dari koalisi yang berkuasa .
Bahkan sekutu Gusmao Francisco Monteiro, CEO perusahaan minyak negara TimorGAP, dipecat.
Meskipun pemerintah Timor Leste telah mengatakan bahwa pergantian kepemimpinan di TimorGAP diperlukan.
Untuk menyelaraskan perusahaan minyak negara tersebut dengan visi strategis barunyapada sektor minyak.
Tetapi Timor Leste tetap tutup mulut mengenai masa depan Tasi Mane.
Namun, program itu masih ada di dinding, menurut James Scambary, seorang dosen bisnis internasional di RMIT Melbourne dan penulis Conflict, Identity, and State Formation in East Timor 2000-2017 .
"Bahkan jika harga gas nol, itu adalah keinginan Gusmao dan dia akan membawanya pulang dengan kekuatan keinginannya, tidak peduli apapun yang terjadi," kata Scambary.
"Tapi sekarang dia tidak lagi duduk di kursi pemerintah, aku curiga proyek itu akan berhenti," katanya.
Dengan minat investor yang kecil, bahkan dari China, Scambary menduga semua orang kecuali Gusmao menyadari bahwa biayanya terlalu besar untuk melanjutkan proyek tersebut.