Advertorial
Intisari-online.com - Genosidaatau pembantaian massal suatu etnis atau kelompok masyarakat masih terjadi di era modern ini.
Seperti halnya yang terjadi di Ethiopia baru-baru ini.
Dikutip dari CNN, sebuah kejadian mengerikan baru saja terjadi.
Hal ini dimulai ketika seorang pria menemukan puluhan jasad manusia di dalam sebuah gereja.
Nama-nama korban di artikel ini bukanlah nama sebenarnya, untuk menghormati para korban dan keluarganya.
Pria bernama Abraham tersebut mulai menguburkan jasad sejak pagi, tapi ia belum selesai meskipun sudah sampai malam.
Jasad-jasad itu beberapa berpakaian dalam jubah putih gereja dan darah menodai kesuciaan tersebut.
Jasad mereka tergeletak bergelimpangan di lapangan kering, lahan pertanian sampai lembah sungai yang kering.
Sementara yang lainnya ditembak mati di pintu gereja dengan tangan mereka diikat dengan ikat pinggang.
Di antara para korban, ada pendeta, pria tua, wanita, seluruh keluarga dan kelompok lebih dari 20 murid sekolah minggu, beberapa baru berusia 14 tahun.
Abraham mengenali beberapa anak kecil tersebut. Mereka dari kotanya di utara Ethiopia, wilayah Tigray, Edaga Hamus.
Wilayah itu dua minggu sebelumnya menjadi titik konflik, menyebabkan Abraham dan keluarganya bersama ratusan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal melarikan diri ke Dengelat.
Dengelat adalah desa terdekat di lembah terjal yang dikelilingi tebing curam berwarna karat.
Beberapa anak yang dikenali Abraham sebenarnya juga ikut melarikan diri dari konflik sebelumnya.
Mereka mencari perlindungan di Maryam Dengelat, kompleks biara bersejarah yang terkenal dengan gereja pahatan batu berusia berabad-abad.
Pada 30 November, sejumlah peziarah religius bergabung dengan mereka guna menghadiri festival Ortodoks Tsion Maryam.
Festival tersebut merupakan pesta tahunan untuk menandai hari yang diyakini orang Ethiopia jika Tabut Perjanjian dibawa ke negara itu dari Yerusalem.
Hari suci itu menjadi jeda sebentar dari kekerasan yang terjadi berminggu-minggu sebelumnya, tapi rupanya hal itu tidak bertahan lama.
Sekelompok tentara Eritrean menembaki gereja Maryam Dengelat ketika ratusan jemaat merayakan pesta itu, seperti disebutkan oleh saksi mata.
Orang-orang segera mencoba melarikan diri dengan berjalan kaki, bahkan merangkak lewati tebing ke desa tetangga.
Pasukan-pasukan itu mengikuti, menyebar ke seluruh wilayah pegunungan dengan peluru.
Investigasi CNN dengan wawancara 12 saksi mata mendapatkan hasil jika lebih dari 20 kerabat para korban selamat dan bukti fotografi tunjukkan apa yang terjadi berikutnya.
Tentara masuki pintu demi pintu, menyeret orang dari rumah mereka.
Para ibu dipaksa mengikat anak-anaknya.
Wanita hamil ditembak, suaminya dibunuh.
Beberapa yang selamat bersembunyi di bawah jasad yang sudah meninggal dunia.
Kekacauan itu berlanjut selama 3 hari, dengan tentara membantai warga lokal, memindahkan warga dan peziarah.
Akhirnya pada 2 Desember, tentara perbolehkan penguburan dilakukan, tapi tidak ada upacara khidmat, dan mengancam membunuh siapapun yang mereka mereka lihat berduka. Abraham pun menjadi sukarelawan.
Di bawah pengawasan ketat, ia menahan tangisnya saat ia memilah jasad para anak kecil dan remaja, mengoleksi kartu identitas dari saku mereka dan mencatat hal-hal seperti pakaian dan gaya rambutnya.
Beberapa sangat tidak bisa dikenali, karena ditembak di wajah.
Kemudian ia menutup tubuh mereka dengan tanah dan ranting-ranting pohon, berdoa agar mereka tidak akan tersapu oleh air hujan atau dibawa menjadi santapan hyena dan masuk ke siklus kehidupan.
Akhirnya ia menaruh sepatu mereka di atas gundukan makam, sehingga ia bisa kembali dengan keluarga mereka untuk mengindentifikasi mereka.
Abraham mengatakan ia mengubur lebih dari 50 orang saat itu tapi mengestimasi lebih dari 100 orang meninggal dunia akibat pembantaian tersebut.
Mereka adalah sebagian dari ribuan warga yang diyakini telah meninggal sejak November ketika Perdana Menteri Ethiopia mengirimkan operasi militer besar melawan partai politik yang menguasai wilayah Tigray.
Ia menuduh Front Pembebasan Warga Tigray (TPLF) yang menguasai Ethiopia hampir 30 tahun menyerang pangkalan militer pemerintah dan mencoba mencuri senjata.
TPLF menolak klaim tersebut.
Konflik ini adalah hasil dari ketegangan yang meningkat antara dua belah pihak, dan termasuk ketegangan etno-nasionalis paling mengerikan yang terjadi baru-baru ini.
Ethiopia adalah negara dengan populasi terpadat kedua di Afrika.
Sedangkan Perdana Menteri Abiy Ahmed mendapat Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2019 setelah menyelesaikan konflik jangka panjang Ethiopia dan Eritrea.
Setelah meraih kekuasaan dari kota terbesar Tigray akhir November, Abiy menyatakan kemenangan dan mempertahankan klaim jika tidak ada warga sipil dilukai dalam serangan tersebut.
Abiy juga menolak klaim jika tentara dari Eritrea menyeberang ke Tigray untuk mendukung pasukan Ethiopia.
Namun hal ini segera menjadi konflik bersenjata di wilayah perkotaan dan pegunungan ketika TPLF dan pasukan pendukungnya bersembunyi, menahan keinginan Abiy untuk menggabungkan kekuatan.
Kekerasan menyebar ke komunitas lokal, menangkap para warga sipil.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini