Penulis
Intisari-Online.com -Perang Dunia I yang merenggut nyawa 17 juta manusia dimulai dari dua letusan senapan yang disusul rentetan bunyi lonceng gereja.
Bahkan, penarik pelatuk senapan itu sendiri sebenarnya tidak pernah menyangka bahwa perbuatannya kelak menjadi pemicu sebuah fase terkelam dalam sejarah umat manusia.
Fase di mana perang berkecamuk dengan sangat hebatnya di Eropa, serta dua benua yang 'tidak berdosa', Asia dan Afrika.
Berikut ini kisahnya.
Pada Minggu pagi 28 Juni 1914 yang cerah, kereta api kerajaan Austria tiba di stasiun Sarajevo (sekarang ibukota Bosnia-Herzegovina).
Archduke Frans Ferdinand dan istrinya Duchess Sophie turun dari kereta.
Mereka disambut Jenderal Oskar Patiorek, gubernur militer Kekaisaran Austria-Hugaria. Saat itu, Bosnia-Herzegovina adalah salah satu provinsi di kekaisaran tersebut.
Hari itu bertepatan dengan peringatan atau festival terpenting Serbia.
Festival itu untuk memperingati St.Vitus dan pertempuran Kosovo abad pertengahan yang amat bersejarah bagi bangsa Serbia karena membebaskan mereka dari penjajahan Turki.
Dan kedatangan Franz Ferdinand, oleh orang Serbia di Bosnia dianggap sebagai “provokasi” mengingat iklim politik pan-Slavia Selatan ketika itu yang juga ingin bebas dan merdeka dari Austria.
Selain itu, tanggal 28 Juni juga kebetulan bertepatan dengan ulang tahun pernikahan Franz Ferdinand dengan Sophie yang ke-14.
Dari stasiun, pengaturan keamanan untuk pasangan kerajaan tersebut terasa kurang dipersiapkan dengan baik.
Padahal Franz Ferdinand dalam posisinya sebagai inspektur jenderal angkatan bersenjata kekaisaran, akan terlibat dalam upacara publik.
Dari stasiun, ia dan istrinya serta Jenderal Potiorek naik mobil terbuka, diiringi sejumlah mobil pengawal.
Franz Ferdinand yang begitu percaya diri bahkan minta agar mobilnya dipelankan. Ia ingin melihat lebih seksama kota tua Sarajevo yang indah itu.
Tak jauh dari kantor pusat kepolisian, sewaktu Potiorek menunjukkan barak militer yang baru, seorang pemuda bernama Nedjelko Cabrinovic melemparkan granat ke mobil Franz Ferdinand.
Granat mengenai lipatan atap mobil, bergulir dan jatuh ke jalan, meledak di bawah mobil di belakangnya, melukai sejumlah perwira pengawal serta publik yang menyaksikan iringan mobil tersebut.
Mobil-mobil pun lalu dipercepat lajunya menuju balai kota. Namun, Franz Ferdinand meminta mobil dipelankan lagi.
Dia ingin mengetahui apa yang terjadi dan apakah ada yang terluka dalam rombongan.
Sesudah berhenti sejenak, perjalanan dilanjutkan dan Archduke pun tiba di balai kota dalam kegusaran akibat kejadian tadi.
Suasana riang untuk memperingati ulang tahun perkawinan pun buyar.
Ia menyatakan keinginan singgah ke rumah sakit militer untuk menjenguk perwira yang terluka akibat serangan granat, setelah itu baru mengunjungi museum seperti diacarakan semula.
Sophie yang tadinya tidak akan ikut ke museum, kini malah minta untuk terus mendampingi suaminya.
Rombongan selanjutnya meninggalkan balai kota dengan kecepatan tinggi.
Namun kekeliruan terjadi karena para sopir rupanya tidak diberitahu mengenai acara mendadak singgah di rumah sakit militer.
Dua mobil pengawal terdepan melaju terus dan berbelok, dan akan diikuti oleh mobil ketiga yang ditumpangi Franz Ferdinand dan istrinya.
Jenderal Potiorek yang juga berada dalam mobil ini meneriaki sopirnya, dan sopir pun langsung mengerem mobilnya.
Sesaat setelah mobil berhenti, seorang anak muda berperawakan kecil mencabut pistol.
Seorang polisi di dekatnya yang melihat Gravilo Princip memegang pistol dan berjalan cepat ke arah mobil, berusaha merebut senjata tersebut.
Namun polisi ini tiba-tia dipukul dan dijatuhkan oleh seseorang yang tak dikenal, sehingga Princip dapat mendekati mobil pada jarak hanya beberapa langkah saja.
Dia menembak dua kali.
Tembakan pertama secara fatal mengenai perut Sophie yang tengah mengandung muda, dan peluru kedua masuk ke dada Franz Ferdinand di dekat jantung.
Tubuh sophie langsung melorot dari tempat duduknya dan mukanya terbenam di antara kedua lutut suaminya.
Franz Ferdinand pun hanya sempat bergumam “Sofia” sebelum kepalanya terkulai.
Mobil dipacu ke kediaman resmi Potiorek, namun setibanya di sana keduanya telah meninggal dunia.
Lonceng-lonceng di Sarajevo pun mulai berdentangan.
Tapi tak seorang pun mengira bahwa bunyi lonceng tanda duka itu sesungguhnya melambangkan tragedi kemanusiaan luar biasa. Benar itu adalah lonceng dimulainya Perang Dunia I yang berdarah-darah.
Perang Dunia pertama disebut menyebabkan sekitar 17 juta orang mati di kawasan Eropa, Asia, dan Afrika.
Princip sendiri langsung ditangkap di tempat, dipukuli, dan ditendangi oleh polisi sebelum diseret ke penjara.
Besoknya dia dipindahkan ke penjara militer. Di sana kakinya dirantai.
Rantai yang akan terus dikenakan sampai kematiannya.
Meskipun ia membantah bekerjasama dengan orang lain, namun sejumlah orang lainnya dicomot dikonfrontasikan, termasuk Cabrinovic, si pelempar granat.
Namun Princip tetap bersikeras tidak mengenal mereka. Satu-satunya pernyataan menyesalnya adalah bahwa ia telah membunuh istri Arcduke.
Ia menyatakan sebenarnya yang ia sasar adalah suami Sophie, dan kalau pun meleset dia mengharapkan yang terkena adalah Jenderal Potiorek.
Princip diketahui adalah anggota organisasi Tangan Hitam atau Persatuan Kematian (Ujedinjenje ili Smrt).
Kelompok rahasia orang Serbia di Bosnia yang memperjuangkan cita-cita bangsa Slav Selatan.
Tujuan perjuangan Tangan Hitam adalah untuk merdeka dari kungkungan Kekaisaran Austria dengan melakukan teror maupun kekerasan lainnya.
Dia dihukum penjara 20 tahun, hukuman maksimal bagi dia karena hukum melarang hukuman mati bagi pelaku kejahatan yang usianya di bawah 20 tahun.
Tatkala tragedi Sarajevo terjadi, usia Princip belum genap 20 tahun.
Dia meninggal di penjara pada 28 April 1918, hanya beberapa bulan sebelum berakhirnya PD I.
Princip mati setelah tangannya diamputasi akibat tuberkulosis tulang yang rupanya telah menggerogoti tubuhnya sejak sebelum masuk penjara.
Gravilo Princip pun dipahlawankan oleh bangsa Serbia.
Namun, di sisi lain menjadi 'musuh' hampir seluruh umat di dunia yang menjadi korban Perang Dunia I.
(Moh Habib Asyhad)