Intisari-Online.com - Dalam sejarah Timor Leste, wilayah ini pernah diinvasi Indonesia pada tahun 1975 setelah hengkangnya Portugis.
Pasukan Indonesia mendapat perlawanan dari kelompok pro-kemerdekaan Timor Leste, pertumpahan darah pun terjadi di Bumi Lorosae.
Banyak dikatakan, selama pendudukan oleh Indonesia, penderitaan dirasakan rakyat Timor Leste.
Kemudian konflik, penyakit hingga kelaparan menjadi alasan rakyat Bumi Lorosae ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Namun, ironisnya bagi Timor Leste, di balik keputusan Indonesia menginvasi bekas jajahan Portugis itu, ternyata ada dukungan Australia, tetangga sekaligus sebuah negara yang memiliki keterikatan sejarah dengan Timor Leste.
Australia punya 'hutang terima kasih' kepada rakyat Timor Leste, atas bantuan memasok kebutuhan kepada pasukan mereka selama masa Perang Dunia II.
MelansirThe Conversation, jasa rakyat Timor Leste selama pertempuran pasukan Australia melawan pasukan Jepang antara 1942-1943, membuat 'hutang terima kasih' kepada orang Timor dikenang begitu kuat di Angkatan Darat Australia.
Bahkan, seorang tentara Australia, Bill Beattie, mengungkapkan rasa malu yang mendalam atas pengabaian Australia atas orang-orang Timor Timur setelah invasi Indonesia dan penarikan efektif Portugal pada tahun 1975.
Dalam pertempuran dengan pasukan Jepang, akhirnya pasukan sekutu dipukul mundur, namun evakuasi berhasil dilakukan mulai akhir Desember 1942.
Bukan hanya mengabaikan Timor Leste setelah terjadi invasi Indonesia, terungkap melalui Buku Kebijakan Canberra -dari invasi hingga kemerdekaan- yang dirilis oleh National Archives of Australia bagaimana Australia mendukung invasi Timor Leste.
Melansir The Strategist (28/1/2020), sebuah buku kabel, laporan dan kiriman 900 halaman, menunjukkan perdana menteri yang kuat, Gough Whitlam, memaksakan kehendaknya sementara Departemen Luar Negeri menderita dan resah.
Duta Besar Australia untuk Jakarta, Richard Woolcott, menulis bahwa Canberra harus memutuskan antara 'idealisme Wilsonian dan realisme Kissingerian'.
Sementara Duta Besar Australia di Portugal, Frank Cooper, mempertanyakan kerugian akibat mengorbankan Timor Lorosa'e ke Indonesia untuk Australia.
Kemudian diungkapkan , bahwa dalam pertemuan dengan Soeharto pada bulan September 1974, Whitlam menyatakan bahwa Timor Timur harus berintegrasi dengan Indonesia.
Catatan pertemuan Australia mengutip Whitlam, berbunyi: "Timor Portugis terlalu kecil untuk merdeka. Secara ekonomi tidak layak. Kemerdekaan tidak diinginkan di Indonesia, Australia, dan negara-negara lain di kawasan… "
Whitlam, dalam catatan laporan itu, menawarkan dua pemikiran dasar: Pertama, dia percaya bahwa Timor Portugis harus menjadi bagian dari Indonesia. Kedua, hal ini harus terjadi sesuai dengan keinginan rakyat Timor Portugis yang diungkapkan dengan baik. Perdana Menteri menekankan bahwa ini belum menjadi kebijakan Pemerintah tetapi kemungkinan besar akan menjadi seperti itu.'
Kemudian Soeharto menjawab bahwa Timor Timur bisa menjadi 'duri di mata Australia dan duri di punggung Indonesia'.
Kepala Urusan Luar Negeri, Alan Renouf, menulis bahwa Whitlam mengubah posisi Australia dengan mengadopsi kebijakan dua cabang ketika dua poin tidak dapat didamaikan:
"Whitlam jelas tidak ingin ada lagi negara mini yang dekat dengan Australia di Asia Tenggara atau Pasifik Selatan. Karena itu, dia tidak menginginkan Timor Timur merdeka; merger dengan Indonesia adalah satu-satunya jawaban," dikutip The Strategis.
Sebulan kemudian, mayor jenderal yang bertanggung jawab atas operasi khusus Indonesia menyatakan bahwa sampai kunjungan Whitlam ke Jakarta, 'mereka masih ragu-ragu tentang Timor. Namun dukungan Perdana Menteri untuk gagasan penggabungan ke Indonesia telah membantu mereka memantapkan pemikiran mereka dan mereka sekarang sangat yakin dengan kebijaksanaan ini.'
Indonesia menginvasi Timor Leste dengan operasi militer yang dikenal sebagai 'Operasi Seroja' dimulai pada 7 Desember 1975.
Pada Juli 1976, parlemen Indonesia mendeklarasikan Timor Leste sebagai provinsi ke-27 di negara itu.
Diperkirakan sebanyak 200.000 orang tewas dalam pertempuran, pembantaian, dan kelaparan paksa selama kurang lebih seperempat abad pendudukan Indonesia.
Fretilin dan sayap bersenjatanya, Falintil, dipukul mundur ke pedalaman pulau bersama puluhan ribu penduduk sipil.
Mengutip The Guardian, banyak negara termasuk Australia, yang saat itu mengabaikan Timor Leste dan bersiap untuk menenangkan Indonesia karena ukuran dan kekuatannya di kawasan.
Dan pada tahun 1978 Perdana Menteri Australia, Malcolm Fraser, adalah orang pertama yang mengakui aneksasi de facto Jakarta.
Sementara PBB mengutuknya dan menyerukan tindakan penentuan nasib sendiri.
Dua dekade setelah invasi Indonesia dan berbagai peristiwa yang terjadi, Timor Leste barulah lepas dari Indonesia dengan diselenggarakannya referendum pada 30 Agustus 1999.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja Majalah Intisari.Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari