Intisari-online.com - Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi kunjungi Brunei Darussalam dalam kunjungan regionalnya.
Kunjungan ini bersifat sangat politis dengan diskusi berupa 'cara lebih baik' menyelesaikan krisis politik Myanmar.
Retno juga mengajak berdiskusi Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken Selasa kemarin, dan akan berbicara dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Dilaporkan dari South China Morning Post, rupanya Indonesia menjadi tumpuan harapan ASEAN untuk membenahi masalah politik Myanmar.
Itulah sebabnya Menlu Retno kunjungi Brunei Selasa kemarin untuk mengajak berpikir bersama sebagai ASEAN agar mendapatkan cara terbaik menghentikan kudeta militer Myanmar.
Brunei Darussalam sendiri saat ini menduduki posisi ketua ASEAN, sehingga Retno langsung saja mengunjungi negara kerajaan tersebut.
Retno juga mengatakan ia akan kunjungi negara Asia Tenggara lainnya setelah berhenti di Brunei.
Kemudian dalam pembicaraannya dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, keduanya mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap kudeta militer Myanmar.
Retno umumkan kunjungannya ke Brunei selama konferensi pers gabungan di Jakarta dengan Menteri Luar Negeri Hungaria Peter Szijjarto Selasa siang.
Retno juga mengatakan "Mekanisme ASEAN seharusnya bekerja lebih baik untuk secara konstruktif membantu menyelesaikan" krisis politik Myanmar.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia "memprioritaskan" upaya untuk menyelesaikan transisi demokrasi di Myanmar.
Ia juga mengatakan ia telah berkomunikasi dengan para menteri luar negeri di India, Australia, Jepang dan Inggris serta dengan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener.
Kunjungan Retno ke Brunei dan negara Asean lain datang beberapa minggu setelah Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin menyerukan pertemuan istimewa Asean untuk membahas situasi Myanmar.
Sejauh ini, respon negara Asean atas kudeta militer Myanmar belum satu suara.
Indonesia, Malaysia dan Singapura mengutarakan kekhawatiran atas perebutan kekuasaan itu, sementara Filipina menyebut masalah itu sebagai urusan pribadi, sebelum meminta "penyelesaian total" atas status quo di Myanmar.
Kamboja dan Thailand juga menyebut kudeta itu sebagai masalah pribadi, sedangkan Vietnam memanggil situasi itu "untuk distabilkan".
Brunei sendiri merilis pernyataan meminta "dialog, penyelesaian, dan kembali ke normal" meskipun mereka tidak menyelesaikan perihal apapun terkait kudeta itu.
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan Selasa lalu jika perkembangan di Myanmar, termasuk tidak ada internet dan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa, memang mengerikan.
Namun ia menambahkan jika ia melihat tidak ada alasan untuk sanksi terhadap negara itu.
Walaupun salah satu kebijakan ASEAN adalah tidak ikut campur dengan perihal pribadi anggota, Balakrishnan menyatakan kelompok itu bisa "memerankan peran penting dalam memfasilitasi pengembalian normal dan stabilitas di Myanmar".
Dyan Loh, asisten profesor untuk kebijakan publik dan hubungan internasional di Nanyang Technological University di Singapura mengatakan ASEAN "tidak bisa berbuat lebih" daripada meminta ketenangan dan kembali normal.
"Juga bukan kepentingan ASEAN untuk ikut campur secara kuat dalam isu ini jika tetap ingin berkomunikasi terbuka dengan pemimpin Myanmar," ujar Loh.
"Perlu diingat ASEAN memerankan peranan penting meyakinkan pemerintahan junta agar membuka pintu untuk bantuan internasional tahun 2010 lalu, sehingga aku yakin ASEAN tidak perlu melakukan lebih dari kapasitasnya," ujarnya.
Namun hal berbeda disampaikan Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional di Universitas Padjajaran di Bandung, Indonesia.
Ia mengatakan Indonesia bisa mencari dukungan Brunei untuk solusi yang mungkin sudah disetujui oleh Muhyiddin dan Jokowi saat pertemuan mereka.
"Mungkin ada rincian penting atas rapat itu mengenai Myanmar yang tidak dirilis ke publik," ujar Teuku.
Ia mengatakan langkah Indonesia mencari respon lebih baik atas kudeta militer dari negara ASEAN lain dan komunitas internasional telah tekankan peran regional Indonesia sebagai penjaga perdamaian dan penjaga komunikasi.
Indonesia sendiri telah meminta Myanmar untuk mengingat perjanjian ASEAN atas pemerintahan yang baik dan undang-undang yang berlaku.
Hal itu kemungkinan besar menjadi pernyataan terkuat dari 10 anggota ASEAN.
Posisi Indonesia ini bukanlah tanpa alasan.
Mengingat terjadinya kudeta yang hebat di Indonesia, mungkin memang Indonesia yang paling patut membawa diplomasi ini ke Myanmar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini