Myanmar Dikuasai Diktator Militer, Tidak Hanya Myanmar, Rupanya Sejarah Diktator di ASEAN Sangatlah Kuat Meskipun Demokrasi Menjadi Salah Satu Pilarnya

Maymunah Nasution

Penulis

Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang sudah disuntik vaksin Covid-19 sebelum vaksinnya mendapat izin

Intisari-online.com -Myanmar memasuki 2 minggu resmi menjalani masa kepemimpinan militer setelah kudeta dilancarkan oleh junta militer.

Junta militer dipimpin oleh Min Aung Hlaing, kepala militer Myanmar, yang menggulingkan kepresidenan sipil Aung San Suu Kyi.

Myanmar sudah cukup sering dikuasai oleh militer mereka.

Namun kudeta 2021 ini menjadi tanda jika demokrasi belum sepenuhnya mengakar di negara tersebut.

Baca Juga: Polisi Myanmar Makin Brutal saat Hadapi Demonstran Pro-Demokrasi, Satu Wanita Ditembak Tepat di Rahimnya

Sementara itu menanggapi isu Myanmar, ASEAN di bawah arahan Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin menuntut ASEAN yang lebih kuat melawan kudeta militer Myanmar.

Mengutip The Australian, Jokowi dan Muhyiddin telah memanggil pertemuan khusus ASEAN.

Gunanya adalah mendiskusikan krisis yang sudah di ambang pintu ini, di tengah protes yang terus menguat di ibu kota Myanmar, Naypyidaw.

"Indonesia dan Malaysia mengambil langkah serius untuk situasi di Myanmar ini," ujar Muhyiddin setelah pertemuan dengan Jokowi 5 Februari lalu.

Baca Juga: China Memang Negara Terkuat di Asia Saat Ini, Tetapi Banyak Negara Asia Tenggara Justru Percaya pada AS Tahun 2021 Ini, Data Ini Jadi Buktinya

"Ini tentunya menjadi langkah mundur dalam demokrasi Myanmar," tambahnya.

Jokowi kemudian melanjutkan, "Penting bagi semua melanjutkan menghormati prinsip ASEAN terutama pentingnya hukum, pemerintahan yang baik, demokrasi, HAM dan pemerintahan konstitusional."

Kedua pemimpin tersebut berbicara di tengah kritik tajam atas keduanya mengenai memimpin penurunan demokrasi di negaranya masing-masing, Indonesia dan Malaysia.

Kritik juga datang dari lembaga penelitian Asia Tenggara Lowy Institute, yang direkturnya Ben Bland mengatakan posisi Jokowi dan Muhyiddin lebih mengarah ke "khawatir mengenai dampak kudeta terhadap stabilitas regional daripada hasrat mempromosikan demokrasi dan HAM melampaui batas negara."

Baca Juga: Bereaksi Keras Mengetahui Myanmar Alami Kudeta Militer, Begini Tanggapan Joe Biden yang Sebut Bisa Lakukan Intervensi Militer Ke Myanmar, Tapi Mungkin Bisa Dibungkam China

Tetap saja, respon mereka sangatlah kontras dibandingkan respon pemimpin ASEAN lain, kecuali Singapura.

Singapura menyatakan sangat khawatir atas kudeta tersebut.

Namun Thailand, Kamboja, dan Filipina telah menyebut kudeta tersebut sebagai isu internal.

Sedangkan negara satu partai Laos dan Vietnam tetap diam.

Baca Juga: Korea Utara Ternyata Gemar Culik Ribuan Orang dari 14 Negara Berbeda, Termasuk Nelayan, Tentara, dan Pelajar, untuk Apa?

Sementara itu tinggal satu negara yang telah kehilangan minat kepada Myanmar, Brunei Darussalam.

Brunei kemungkinan besar tidak akan biarkan Myanmar terkungkung dalam diktator militer karena militer-lah yang menindas para muslim Rohingya, sehingga kemungkinan besar Brunei akan mendukung ajakan Indonesia dan Malaysia.

Kenyataannya, ASEAN sudah sering diliputi pemimpin diktator.

Mengutip The Diplomat, beberapa diktator dari negara ASEAN yang terkenal antara lain Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, atau Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha.

Baca Juga: Kekaisaran Khmer, Monarki Raksasa di Asia Tenggara yang Tak Kalah Digdaya Dibanding Majapahit

Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun tidak kalah dianggap diktator.

Namun Duterte bisa menjabat lewat cara yang sangat demokratis, dan ia harus hengkang dari Istana Malacanang tahun 2022 mendatang.

Sementara itu Prayut mendapat kekuasaannya lewat kudeta militer tahun 2014 tapi harus melewati pemilu tahun 2019 dan menopang monarki baru saat ini.

Sedangkan Hun Sen secara kontras malah mengebiri monarki Kamboja.

Baca Juga: Main Aman dan Tak Mau Ikut Campur Urusan Konflik Laut China Selatan, Ternyata Indonesia Disebut Bisa Jadi Penengah antara Amerika dan China, Ini Alasannya

Hun Sen dulunya paling cocok dengan sebutan diktator.

Ia mendominasi partainya, melemahkan musuh internal dan ekternal sampai siapapun tidak dapat mengancamnya, dan punya banyak kesempatan ia masih mampu menuntun anak tertuanya menjabat sebagai Perdana Menteri sebagai suksesi dinasti.

Namun dibandingkan penjelasan mengenai diktator dari buku karangan Frank Dikotter How to Be a Dictator, Hun Sen bukanlah diktator.

Hun Sen kurang menjadi diktator karena ia tidak mengkampanyekan jika warganya juga harus menyembahnya.

Baca Juga: Bagaimana Seandainya Amerika Memenangkan Perang Vietnam? Bisa Jadi Genosida Kamboja oleh Rezim Khmer Merah Tidak Akan Terjadi

Namanya memang muncul di berbagai sekolah dan RS pemerintah, wajahnya di semua poster partai penguasa yang ada di jalanan Kamboja.

Ia juga tanpa lelah laksanakan tur ke seluruh penjuru Kamboja untuk melantik para wisudawan di wisuda mereka.

Namun warga Kamboja tidak diharapkan memuja ia setiap hari dan tidak perlu mendengarkan apapun yang ia bicarakan.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait