Jika AS Terus-menerus Menekan Iran, Hal Itu Malah Makin Mendorong Iran Mengembangkan Senjata Nuklir dan Itu Bukan Salahnya

Tatik Ariyani

Editor

Ilustrasi perbandingan kekuatan militer Iran dan AS
Ilustrasi perbandingan kekuatan militer Iran dan AS

Intisari-Online.com -Minggu (7/2/2021), Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan bahwa keputusan final dan tidak dapat diubah Teheran adalah negaranya akan kembali mematuhi kesepakatan nuklir 2015 jika Washington mencabut sanksi terhadap Republik Islam.

Pernyataan Khamenei disiarkan oleh TV pemerintah Iran.

Melansir Reuters, kesepakatan antara Iran dan enam negara besar dalam membatasi aktivitas pengayaan uranium Iran untuk mempersulit Teheran mengembangkan senjata nuklir merupakan imbalan atas pelonggaran sanksi AS dan lainnya.

Tetapi mantan Presiden AS Donald Trump membatalkan kesepakatan itu pada 2018, mengecamnya sebagai kesepakatan yang menguntungkan Iran, dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran.

Baca Juga: Tak Mau Kalah dengan AS dan Sekutunya, China Bersama Rusia dan Iran Juga Gelar Latihan Gabungan, Akankah Dua Kubu Ini Berperang?

Sementara itu, Presiden AS Joe Biden menegaskan, dia tidak akan mencabut sanksi terhadap Iran selama republik Islam itu tidak mematuhi komitmen kesepakatan nuklir 2015.

Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi sendiri mengatakan tekanan terus-menerus dari Barat bisa mendorong Teheran untuk melawan seperti "kucing yang tersudut" dan membuat senjata nuklir.

Pernyataan Alavi itu adalah langka bahwa Teheran mungkin memiliki kepentingan pada senjata nuklir, yang selama bertahun-tahun Republik Islam menegaskan tidak berniat mengembangkannya.

Pejabat Iran telah berulang kali menolak tuduhan membuat senjata nuklir, mengutip fatwa pada awal 2000-an oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang melarang pengembangan atau penggunaan senjata nuklir.

Baca Juga: Lakukan Dosa Ini Saat Jadi Presiden, Donald TrumpSukses Bikin Iran Benci Setengah Mati pada Amerika hinggaPutuskanHal Ini, Tak Ada Jalan Keluar Bagi Joe Biden

Amerika Serikat (AS) dan kekuatan Barat lainnya yang awalnya menandatangani kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran tampaknya berada pada jalan buntu mengenai pihak mana yang harus kembali ke kesepakatan terlebih dahulu.

Sehingga, sanksi AS yang telah melumpuhkan ekonomi Iran tidak bisa dengan cepat dicabut.

Senjata nuklir bertentangan dengan hukum syariah

"Pemimpin Tertinggi telah secara eksplisit mengatakan dalam fatwanya bahwa senjata nuklir bertentangan dengan hukum syariah dan Republik Islam melihatnya dilarang secara agama dan tidak mengejarnya," kata Alavi kepada TV Pemerintah Iran, seperti dikutip Reuters.

“Tapi, kucing yang terpojok mungkin berperilaku berbeda dari saat kucing itu bebas. Dan, jika mereka (negara-negara Barat) mendorong Iran ke arah itu (senjata nuklir), maka itu bukan lagi kesalahan Iran,” kata Alavi dalam wawancara yang disiarkan Senin (8/2) malam.

Iran bersikeras, program nuklirnya untuk menghasilkan tenaga dan untuk tujuan damai lainnya.

Baca Juga: Lalui Proses Panjang Sampai Diizinkan Selidiki Asal Usul Virus Corona, Tim WHO Mengatakan Sumber Covid-19 Tetap Tidak Teridentifikasi

Tetapi, badan intelijen AS dan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakin, Iran pernah memiliki program senjata nuklir yang dihentikan.

Pemerintahan Joe Biden sedang menjajaki cara untuk memulihkan kesepakatan nuklir 2015 yang Iran tandatangani bersama kekuatan besar dunia.

Tetapi, Pemerintah Donald Trump keluar dari perjanjian itu pada 2018 dan kembali menerapkan sanksi.

Iran membalas dengan melanggar ketentuan kesepakatan tersebut langkah demi langkah.

Sebelumnya Biden mengatakan, jika Teheran kembali ke kepatuhan ketat dengan pakta itu, Washington akan mengikuti.

Biden akan menggunakan itu sebagai batu loncatan untuk perjanjian yang lebih luas yang mungkin membatasi pengembangan rudal Iran dan kegiatan regionalnya.

Namun, Teheran bersikeras, Washington harus mengurangi sanksi terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepatuhan kesepakatan nuklir 2015.

Itu telah mengesampingkan negosiasi tentang masalah keamanan yang lebih luas.

Artikel Terkait