Iming-iming Jepang atas Kebebasan Rakyat Indonesia, Bukti Realisasi Ramalan Jayabaya tentang Ratu Adil?

K. Tatik Wardayati

Editor

Pendudukan Jepang di Indonesia.
Pendudukan Jepang di Indonesia.

Intisari-Online.com – Jepang melakukan serangan mendadak mematikan terhadap Amerika di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.

Ratusan pesawat Jepang merusak 21 kapal perang dan menghancurkan lebih dari 150 pesawat di lapangan terdekat, dan lebih dari 2.000 orang Amerika tewas.

Setelah itu Jepang merasa menang atas Perang Dunia II, mereka mendarat di Malaya Utara, dan pasukan Jepang yang lebih besar turun di Thailand yang netral.

Kemudian pasukan Jepang melakukan Operasi Selatan, yang diarahkan ke Malaya, Filipina, dan Hindia Belanda.

Baca Juga: Beginilah Pendudukan Jepang dan Perlakukan Tawanan Perang di Kamp Konsentrasi, dari Penyiksaan Hingga Gizi Buruk dan Kerja Paksa untuk Proyek Militer Jepang

Hindia Belanda yang dimaksud adalah negara kita, Indonesia.

R. Moh. Ali, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1964, menggambarkan keadaan di Kudus dan di Juana dalam bulan Maret 1942 dan bulan Agustus 1945.

Pada tanggal 1 Maret 1942 angkatan perang Jepang meningkatkan gerak serbuan ke Asia Tenggara dengan pendaratan serentak pada tiga tempat di pulau Jawa antara lain di Kragan (Rembang).

Pendaratan di pulau Jawa adalah serbuan utama ke dalam batang tubuh imperium Belanda yaitu pulau Jawa dengan pertahanan induk: benteng Bandung.

Baca Juga: Bak Kacang Lupa Kulitnya, Selalu Merasa Timor Leste Punya Utang Budi, Australia Lupa Bahwa Rakyat Timor Pernah Selamatkan Negeri Kanguru dari Agresi Jepang saat PD 2

Kejatuhan pertahanan Belanda di Jawa berarti keruntuhan imperialisme Belanda di Asia Tenggara.

Maka oleh sebab itu pendaratan 1 Maret 1942 itu oleh Jepang dilaksanakan sebagai puncak gerakan propaganda yang diselenggarakan dengan cermat dan tepat selama beberapa tahun.

Dalam pada itu Jepang mendasarkan gerak propagandanya atas suatu naluri yang hidup dalam lubuk hati bangsa Indonesia.

Naluri itu adalah kekuatan konkrit yang bergolak berabad-abad lamanya dibawah sadar kebangsaan kita: masyarakat adil dan makmur atau dengan ujud konkritnya sebagai Ratu Adil.

Pada tahun 1926 — 1927 naluri itu membangkitkan arus-dinamika kebangsaan dalam perlawanan perintis-kemerdekaan: pemberontakan Komunis.

Arus-dinamika menuju kemasyarakatan sama-rasa dan sama-rata yaitu masyarakat adil dan makmur.

Dengan bertekad melenyapkan penjajahan Belanda, ribuan pejuang mempertaruhkan diri-pribadinya.

Kenyataan itu menjadi alas-dasar angkatan perang Jepang.

Radio Tokio dalam siaran-siaran yang ditujukan kepada rakyat Indonesia di pulau Jawa senantiasa mengkumandangkan kedatangan Ratu Adil di waktu dekat.

Baca Juga: Modal Nekat, Pilot ‘Nganggur’ Ini Sukses Jadi Penerbang Pesawat Tempur Pertama di Indonesia

Nujuman Jayabaya tentu dan pasti akan menjadi kenyataan.

Penjajahan Belanda yang senantiasa membawa penindasan kemelaratan dan pemerintahan yang sewenang-wenang akan lenyap.

Dan tentara Jepanglah yang akan menyapu bersih bumi Indonesia dari tiap-tiap serdadu Belanda.

Apabila Belanda-si kulit putih lenyap, si-bule (kebo-bule = kerbau putih) dihancurkan maka barang semestinya tibalah masa yang diharap-harap dan dengan sepenuh jiwa: masa Ratu Adil.

Bukankah barang semestinya apabila Jepang minta dan menganjurkan agar rakyat Indonesia membantu tentara Jepang.

Sewajarnya kita bangsa Indonesia menyongsong kedatangan Jepang untuk melenyapkan ketidakadilan dan kemelaratan.

Penderitaan rakyat Indonesia cukup luas dan cukup dalam dan dengan mudah sekali tertanamlah keyakinan dihati-sanubari rakyat jelata: kedatangan Jepang tentu dan pasti mengakhiri penderitaan.

Tanggal 1 Maret 1942 di wilayah Jepara-Rembang, disambut dengan meriah dengan penuh harapan.

Dentuman meriam kapal-kapal perang Jepang dipantai Kragan terdengar sampai jauh di pedalaman.

Baca Juga: Ramalan Jayabaya, 'Akurat' Memprediksi Penjajahan Belanda dan Jepang, Namun Picu Perdebatan Panjang tentang Jajaran Presiden Indonesia

Tidak ada tua-muda, sama pada masa pendudukan Jepang.
Tidak ada tua-muda, sama pada masa pendudukan Jepang.

Asap tebal mengepul di kota-kota seperti Kudus, Pati, Jepara, dan sebagainya, sebagai akibat siasat bumihangus Belanda.

Tangki-tangki bensin, minyak dibakar dan beberepa ledakan menghancurkan bangunan penting.

Tentara Belanda mundur sebelum bertempur, pasukan-pasukan pengamanan kota dan wilayah (stadswacht dan landwacht) terdiri atas pegawai-pegawai dan penduduk tanpa komando membubarkan diri.

Pakaian seragam dibuang jauh-jauh dan senjata yang tak ada artinya dilempar ke dalam selokan-selokan. Demikian pula poIisi Belanda.

Terjadilah sesuatu yang luar biasa selama beberapa hari menjelang pendudukan Jepang.

Di seluruh wilayah tidak terdapat suatu kekuasaan atau pemerintahan.

Rakyat bergerak karena naluri azasinya dan tampak dengan jelas sekali arus-dinamika baru.

Di mana pun rumah-rumah dan pintu-gerbang kampung, desa dan kota dihiasi dengan daun kelapa muda.

Pada tiap-tiap pintu rumah ketupat-ketupat yang dibuat dari daun kelapa muda bergantungan.

Baca Juga: Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Demikian pula dengan manusianya; laki-laki, wanita, anak-anak, tua-muda, mengenakan kalung daun kelapa muda.

Itulah pertanda menyongsong kedatangan Ratu Adil.

Warna pusaka, merah-putih mulai tampak berselingan dengan daun kelapa muda.

Bendera triwarna sudah lenyap dan tiada seorang pun yang ada hayatnya membela Belanda.

Sepanjang hari dan sepanjang malam orang keluar di jalan-jalan, di lorong-lorong bersorak-sorai.

Sekarang tidak ada pemerintahan sewenang-wenang lagi. Tidak ada pajak apapun. Rakyat tidak perlu membayar apa-apa.

Setiap keluarga dapat rumah. Tidak perlu bayar listrik. Setiap anak sekolah di Sekolah Tinggi.

Juga, mulai sekarang tidak ada ndoro, tidak ada tuan atau nyonya, tidak ada kuli dan budak: semua orang sama.

Perbedaan antara kaya dan miskin tidak ada lagi. Semua orang kaya dan semua orang miskin. Hukum sama-rata dan sama-rasa berlaku.

Baca Juga: Kisah Pilu Mantan Seorang Jugun Ianfu Setelah 50 Tahun: Oh Tuhan, Jangan Biarkan Mereka Membawaku!

Semua manusia sama, semua orang sama-sama; sama tinggi-sama rendah, sama kaya sama miskin.

Dengan gerakan serentak yang sukar dimengerti terjadilah suatu perubahan mendadak.

Perubahan itu terjadi di mana-mana seolah-olah digerakkan oleh satu komando.

Di kampung-kampung, di kota-kota, di desa-desa, dan dusun-dusun disusunlah pasukan-pasukan sukarela untuk menjaga keamanan dan mengatur tata tertib.

Setiap orang harus ikut serta dengan tidak pandang bulu, pegawai, pedagang, ningrat dan sebagainya.

Sebutan ndoro lenyap dalam waktu 24 jam.

Bapak (pak), ibu (bu), bung, saudara mulai merata di seluruh lapisan masyarakat.

Pergaulan antara lapisan-lapisan manusia semakin menjadi erat, seolah-olah sudah terwujudlah persaudaraan antara manusia dengan manusia!

Baca Juga: Tradisi Hukuman Pancung Memang Mengerikan, Tapi Mengapa Masih Dipraktikkan di Sejumlah Negara?

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait