Ramalan Jayabaya, 'Akurat' Memprediksi Penjajahan Belanda dan Jepang, Namun Picu Perdebatan Panjang tentang Jajaran Presiden Indonesia

Tatik Ariyani

Penulis

Ramalan Jayabaya

Intisari-Online.com -Jayabaya, seorang raja Hindu di Jawa dikenal dengan ramalannya tentang nusantara, khususnya tentang masa depan Jawa.

Prediksi Jayabaya masih memiliki pengaruh besar di benak banyak orang Indonesia, karena diyakini sebagian besar dari yang ia prediksi telah menjadi kenyataan.

Melansir ancient-origins.net, Raja Jayabaya (atau Joyoboyo) memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1135-1157 dan masih populer di kalangan orang Jawa hingga saat ini, seperti yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi (Babad Jawa) dan Serat Aji Pamasa .

Seperti kebanyakan raja pada zaman itu, dia mengasosiasikan dirinya dengan dewa untuk melegitimasi kekuasaannya.

Baca Juga: Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Beberapa sumber mengatakan bahwa dia adalah cicit dari dewa kebijaksanaan, Brahma, dan beberapa mengatakan bahwa dia adalah titisan Wisnu.

Ayahnya, Gendrayana, mengaku sebagai keturunan dari Lima Pandawa, merunut silsilahnya ke Arjuna, yang dirinya sendiri adalah putra dewa Indra.

Oleh karena itu, Jayabaya diyakini memiliki bakat magis yang kuat sehingga mampu melihat jauh ke masa lalu dan jauh ke masa depan.

Jayabaya juga dikatakan bijak dan bersemangat untuk belajar. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kediri mencapai puncak kemakmurannya, khususnya di bidang sastra.

Baca Juga: Kala Jepang Iming-imingi Kebebasan Kepada Rakyat Indonesia Lewat Nujuman Jayabaya tentang Ratu Adil

Raja Jayabaya sendiri menerbitkan kitab ramalannya sendiri seperti Serat Jayabaya, Serat Pranitiwakya dan lain-lain.

Jayabaya turun tahta di masa tuanya dan mencari kehidupan meditasi sebagai pertapa di desa Menang, di Kecamatan Kabupaten Kediri.

Hingga saat ini, desa tersebut masih dianggap sebagai tempat ziarah suci bagi masyarakat Jawa.

Baik Sukarno dan Suharto, presiden pertama dan kedua Indonesia, dikatakan telah bermeditasi di sana untuk mendapatkan kesan legitimasi raja, kemampuan supernatural, serta berkah Jayabaya mereka.

Bagi Jayabaya, karena posisinya sebagai raja dan reputasinya sebelumnya sebagai keturunan dewa, lebih mudah membuat orang mempercayainya dan karena itu buku-bukunya dihormati hampir seperti dirinya.

Ramalan Jayabaya masih memiliki pengaruh besar di benak banyak orang Indonesia saat ini karena sebagian besar ramalannya telah menjadi kenyataan.

Salah satu ramalan Jayabaya yang paling terkenal adalah kedatangan orang-orang berkulit putih yang membawa senjata yang mampu membunuh dari jarak jauh.

Ia meramalkan bahwa laki-laki berkulit putih itu akan menduduki Jawa dalam waktu yang sangat lama.

Baca Juga: Virus Corona Saja Sudah Buat Sengsara Tapi Bill Gates Malah Buat 2 Prediksi Suram yang Akan Dihadapi Umat Manusia Setelah Covid-19, 'Korban Tewasnya Lebih Besar'

Mereka kemudian akan dikalahkan, katanya, oleh orang-orang berkulit kuning dari Utara, yang hanya akan menempati Jawa sebentar.

Ramalan ini menjadi kenyataan dengan 300 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.

Jepang mengalahkan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 yang kemudian disambut dengan sukacita karena orang Jawa memandangnya sebagai realisasi dari ramalan berusia 800 tahun itu.

Jepang kemudian menduduki Indonesia hingga 1945, atau tiga setengah tahun sebelum kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945.

Jayabaya meramalkan kepemimpinan Indonesia modern dengan istilah Notonegoro yang agak longgar, (secara harfiah diterjemahkan sebagai "administrator negara").

Karena tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang mengapa dia menggunakan kata ini secara khusus, ada banyak interpretasi yang berbeda tentang hal ini.

Penjelasan paling sederhana adalah bahwa siapa pun yang menjadi pemimpin di zaman modern Indonesia tidak akan menjadi “raja” yang maha kuasa, tetapi seorang “administrator” yang bertanggung jawab kepada rakyat negara.

Namun, ada interpretasi lain yang lebih rumit.

Baca Juga: Beginilah Pendudukan Jepang dan Perlakukan Tawanan Perang di Kamp Konsentrasi, dari Penyiksaan Hingga Gizi Buruk dan Kerja Paksa untuk Proyek Militer Jepang

Satu teori adalah bahwa ini mengacu pada suku kata terakhir dari nama presiden negara.

Namun, ini tidak sepenuhnya akurat karena hanya dua dari tujuh presiden Indonesia yang pertama memiliki suku kata yang sesuai dalam nama mereka.

Presiden pertama Indonesia adalah SoekarNO, dan presiden kedua adalah SoeharTO.

Karena BJ Habibie, presiden ketiga tidak memiliki suku kata NE di akhir namanya, dan Abdurrahman Wahid (presiden keempat) tidak memiliki suku kata GO, tafsir ini menjadi perdebatan dan tafsir lainnya muncul.

Satu interpretasi mengatakan bahwa itu mungkin karena hanya presiden "terhebat" yang memiliki suku kata yang sesuai.

Tafsir lain yang lebih detil adalah, karena NE bukan atas nama BJ Habibie, NE ini kemudian diartikan sebagai presiden dari luar Pulau Jawa, yang sebenarnya dia.

Dan GORO kemudian dikatakan berasal dari kata goro-goro yang artinya konflik dan kerusuhan, yang terjadi pada era Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden keempat dan kelima.

Dan presiden keenam YudhoyoNO, dipercaya akan membawa kepemimpinan Indonesia kembali ke suku kata pertama.

Ini hanyalah beberapa dari banyak tafsir dari topik yang sangat populer di kalangan orang Indonesia yang percaya pada ramalan ini.

Artikel Terkait