Find Us On Social Media :

Modal Nekat, Pilot ‘Nganggur’ Ini Sukses Jadi Penerbang Pesawat Tempur Pertama di Indonesia

By Agustinus Winardi, Sabtu, 11 Agustus 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com - Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, pemerintah RI yang masih sangat muda belum memiliki Angkatan Udara (AURI) tapi memiliki sejumlah pesawat terbang peninggalan Jepang.

Presiden Soekarno (Bung Karno) sendiri saat itu sudah memerintahkan untuk dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mempersatukan para pejuang yang kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Komandan sementara dan sekaligus Kepala Staf TKR dipimpim oleh Urip Sumohardjo yang pernah menjadi perwira KNIL berpangkat mayor.

TKR kemudian dengan cepat dibentuk di tiap kota, dan khusus untuk membentuk TKR di Yogyakarta, Bung Karno memerintahkan mantan tentara Belanda yang juga seorang penerbang, Suryadi Suryadarma yang saat itu ada di Bandung, untuk berangkat ke Yogya.

Baca juga: Ada Kisah Ajaib di Balik Jatuhnya Pesawat Dakota AURI yang Ditembak Pesawat Tempur Belanda pada Operasi Trikora

Ketika Berada di Yogyakarta, Suryadi Suryadarma mendapat informasi bahwa banyak pesawat-pesawat tempur Jepang ditinggalkan dan berada di sejumlah lokasi seperti Madiun, Semarang, Malang, Yogyakarta dan lainnya.

Suryadarma lalu menemui Urip untuk memberi tahu tentang banyaknya pesawat Jepang yang ditinggalkan, jika dimanfaatkan bisa untuk membentuk TKR Udara.

Urip lalu menyampaikan ide ke Menteri Pertahanan Sultan HB IX perlunya dibentuk TKR Udara dan ternyata disetujui.

Suryadarma sendiri kemudian dipercaya untuk memimpin TKR Udara sekaligus mengembangkannya.

Baca juga: Kacaunya Suasana Operasi Lintas Udara Pertama AURI 17 Oktober 1947: Ada yang Enggak Jadi Terjun karena Takut, Ada yang Nyangkut di Pohon

Setelah TKR Udara dibentuk, Suryadarma lalu menghubungi rekan lamanya yang merupakan penerbang lulusan Sekolah Penerbangan Militer Belanda dan memiliki ijasah Groot Militair Brevet (GMB), Agustinus Adisutjipto, untuk ikut membangun kekuatan udara.

Tapi meski memiliki ijasah sebagai penerbang, Adisutjipto selama tiga tahun pendudukan Jepang sudah’menganggur’ dan malah pekerja pada perusahaan bus di Salatiga yang dikelola Jepang.

Selama tiga tahun tidak menerbangkan pesawat jelas akan beresiko tinggi jika Adisutjipto disuruh menerbangkan pesawat lagi secara tiba-tiba.