Intisari-online.com -Riuhnya gerakan Black Lives Matter di AS telah menimbulkan keriuhan yang sama di seluruh Indonesia.
Banyak warga Indonesia menyuarakan kepada Komunitas Kulit Hitam AS atas pembunuhan George Floyd, beberapa media blak-blakan mengabarkan isu persamaan derajat ras di Indonesia.
Sampai sekarang kenyataannya banyak warga asli Papua yang menghadapi rasisme di luar Pulau Papua terutama dari warga Non-Papua di Indonesia.
Rasisme ini telah dibahas di Modern Diplomacy, berikut adalah beberapa paparannya.
Warga asli Papua adalah keturunan dari Melanesia yang berkaitan erat dengan populasi negara-negara Pasifik seperti Fiji, Papua Nugini, Vanuatu dan Kepulauan Solomon.
Provinsi Papua secara teknisnya bukan bagian dari wilayah Indonesia jika melihat persamaan identitas atas warga Papua dan warga Indonesia lain.
Namun karena proses kolonialisasi yang merupakan ide Indonesia untuk membangun "Bangsa" yang terdiri dari semua wilayah yang dulunya dikolonisasi oleh Kerajaan Belanda, termasuk Pulau Papua, akhirnya Papua masuk ke Indonesia.
Karena perbedaan budaya antara populasi Papua dan Indonesia lainnya inilah yang menyebabkan interaksi warga Indonesia dengan warga Papua begitu kecil.
Itulah sebabnya banyak berkembang pemikiran etnosentris terhadap komunitas yang berisi warga dengan kondisi fisik berbeda dan latar belakang berbeda dengan lainnya.
Sebagian besar kasus rasisme terhadap Komunitas Papua tidak secara sistematis dilaksanakan di bawah kebijakan negara atau undang-undang yang ada.
Namun hal itu menyebar secara sporadis dalam bentuk prasangka dan diskriminasi.
Kondisi sosial ini telah membentuk "atap kaca" yang mencegah warga asli Papua untuk berhasil di luar komunitasnya.
Contohnya adalah kasus di Yogyakarta, saat banyak murid Papua tidak mendapat akses akomodasi karena pemilik kos mendapat informasi berbagai stereotipe negatif mengenai komunitas masyarakat Papua.
Pada beberapa kasus, warga Papua juga menerima hinaan fisik dan verbal dari massa karena menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah Indonesia.
Rasisme juga sering ditemukan di media populer yang menggambarkan warga Papua sebagai primitif atau tidak berpendidikan.
Hal itu mendorong lebih banyak lagi stereotipe negatif yang dipercayai oleh beberapa warga Indonesia.
Beberapa kasus prasangka terhadap warga Papua berasal dari pengabaian, tapi hal itu menjadi masalah berbahaya ketika aksi itu dihubungkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Salah satu contoh utamanya adalah kasus serangan Surabaya Agustus 2019 lalu, saat anggota DPRD meneriakkan seruan ejekan kepada mahasiswa Papua di tempat mereka tinggal.
Saat itu, pelaku merasa tindakannya dibenarkan, karena menghadapkan mahasiswa terkait penodaan bendera nasional, sebuah tuduhan yang tidak pernah terbukti sampai saat ini.
Kejadian itu tunjukkan jika ada "perasaan nasionalisme semu" yang melekat dengan rasisme terhadap masyarakat Papua.
Kejahatan kebencian entah bagaimana secara keliru dikaitkan sebagai tindakan patriotisme, kepercayaan yang didasarkan pada generalisasi berlebihan jika semua orang asli Papua terkait akan itu.
Pandangan yang salah mengenai rasisme disamarkan sebagai patriotisme yang diamini warga Indonesia non-Papua ini telah membaurkan garis antara masalah sosial dan politik di Indonesia.
Sayangnya, keyakinan akan masalah ini telah menciptakan konsepsi yang salah bahkan di antara akademisi dan pejabat pemerintah Indonesia.
Diskusi mengenai topik ini sering dianggap sensitif dan tabu di pihak publik.
Meski begitu pembatasan pembahasan rasisme terhadap Papua tidak akan menyelesaikan konflik ini.
Untuk memahaminya kita perlu kembali dan memahami sifat dari Konflik Papua.
Separatisme adalah bentuk bangkitnya medan perang yang menempatkan pengaruh dan narasi politik sebagai cara mencapai kemenangan.
Populasi asli area konflik dianggap sebagai populasi netral yang harus dibujuk untuk mendukung salah satu pelakunya.
Dukungan itu berarti banyak dalam perang; memotong jalur logistik separatis, kepintaran, pergerakan, mendapat dukungan internasional, menguatkan pengelolaan dan legitimasi atas teritori yang ada, bahkan bisa memenangkan potensi referendum di masa depan.
Dalam demokrasi saat dukungan politik merupakan aspek penting memastikan kelanjutan rezim, sangat menguntungkan untuk memenangkan simpati populasi netral daripada menekannya.
Hal ini karena populasi netral dapat berpartisipasi dalam proses check and balance pemerintah dan menyuarakannya ke publik.
Pengalaman negatif apapun dapat berdampak pada tingkat persetujuan publik terhadap pemerintah dan mengancam citra di tingkat publik dan internasional.
Untuk sebab itu, untuk memastikan dukungan populasi netral di pihak mereka, otoritas Indonesia harus bersedia menghadapi masalah yang terus muncul saat mengurusi komunitas Papua, termasuk rasisme.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini