Penulis
Intisari-Online.com - Menjadi anggota pasukan khusus Indonesia, selain harus memiliki fisik yang mumpuni, mereka juga harus punya mental yang kuat.
Bertempur di medan perang bukan hanya soal kekuatan fisik saja, tapi juga ketahanan mental.
Menyaksikan rekan seperjuangan gugur tentu bukan hal yang mudah, sementara itu mereka juga tetap harus bertahan untuk menyelesaikan misi.
Itu seperti yang dialami seorang prajurit pasukan khusus Indonesia, Kopassus, dalam pertempuran melawan Belanda di hutan Papua.
Ia menjadi satu-satunya prajurit Kopassus yang selamat dan harus bertahan hidup di kumpulan jenazah rekan-rekannya.
Dilansir oleh TribunJambi.com, Kopassus waktu itu masih bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) gagah berani bertempur melawan tentara Belanda.
Kisah nyata anggota RPKAD ini terjadi saat Operasi Trikora atau Tri Komando Rakyat di Papua.
Prajurit itu adalah anggota RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang bernama Kopassus) PU II Pardjo.
Ketika Letda Agus Hernoto yang dalam kondisi luka parah ditangkap,ternyata Pardjo masih hidup.
Saat itu, kondisinya sangat parah, bahkan tak bisa bergerak jauh.
Dia harus bertahan hidup di antara jenazah teman-temannya yang menjadi korban penyergapan musuh. Selama lima hari, Pardjo pun tidur di antara jenazah.
Tak ada obat-obatan dan makanan yang bisa digunakanannya.
Saat itu, Pemerintah Republik Indonesia melakukan Operasi Trikora.
Satu di antara yang dilakukan dengan infiltrasi militer Indonesia melalui Operasi Banteng I.
Operasi itu melibatkan personel Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang saat ini bernama Paskhas, dan RPKAD yang sekarang bernama Kopassus.
Gabungan Kopassus dan Paskhas itu diterjunkan di tengah hutan belantara di Irian Barat.
Baca Juga: Tak Ada Habisnya, Tentara India dan China Lagi-lagi Bentrok di Perbatasan, Beberapa Orang Terluka
Mereka masuk wilayah pertahanan Belanda dan mengacaukan konsentrasi pasukan musuh.
Prajurit yang siap tempur itu dibagi dua tim, yakni Banteng I di Fak-fak dan Banteng II di Kaimana.
Banteng I melakukan misi penerjunan di Fak-Fak, dipimpin Letda Inf Agus Hernoto.
Banteng II di Kaimana dipimpin Lettu Heru Sisnodo.
Sambil menunggu perintah berangkat, pasukan memilih leyeh-leyeh di bawah sayap pesawat.
Mereka berusaha tidur sekenanya untuk mengumpulkan tenaga.
Tiga pesawat Dakota yang dipimpin Mayor Udara YE Nayoan, Komandan Skadron 2 Transport, disiapkan untuk menerbangkan pasukan ke Fak-Fak.
Lengkapnya, operasi ini akan menerjunkan satu tim gabungan yang terdiri dari 10 prajurit PGT, 30 prajurit RPKAD ditambah dua orang Zeni. Tim ini dipimpin Letda Agus Hernoto dari Kopassus.
Pasukan Dihantam Hujan Deras
Sewaktu lepas landas dari Laha, hujan turun deras. Dropping dilaksanakan di tengah temaramnya subuh di sebelah utara Fak-Fak.
Ketika formasi pesawat dalam perjalanan pulang, terlihat di laut sebuah kapal yang lampunya berkelap-kelip.
Setelah Dakota pada posisi sejajar dengan kapal, diketahui dengan jelas bahwa ternyata kapal dimaksud milik angkatan laut Belanda.
Lampu yang terlihat berkelap-kelip ternyata tembakan dari kapal ke Dakota.
Formasi Dakota langsung berbelok ke kanan dengan arah menjauh.
Setelah konsolidasi di pagi hari itu, rombongan PU II Pardjo yang diterjunkan di Fak-Fak ternyata selamat dan satu anggota dinyatakan hilang.
Beberapa hari kemudian datang Marinir Belanda sehingga terjadi kontak senjata.
Sesuai instruksi sebelumnya, bila kekuatan tidak seimbang segera masuk hutan.
Setelah keadaan tenang mereka menyusup kembali ke kampung tersebut dan ternyata sudah kosong.
Rumah-rumah penduduk dibakar oleh Belanda dan penduduknya mengungsi entah ke mana.
Sementara pasukan yang diterjunkan di Fak-Fak, sekitar satu bulan bertahan di sekitar kampung Urere, kemudian mendapat perintah meninggalkan kampung.
Dalam kondisi sudah lemah karena kekurangan makanan, pasukan berhenti sejenak di kebun pala untuk istirahat.
Kemudian, secara tiba-tiba diserang pasukan Belanda dari arah seberang sungai.
Dalam kontak senjata, lima anggota gugur yaitu KU I Adim Sunahyu, PU I Suwito, PU I Lestari, dua orang dari RPKAD yakni Sukani dan seorang lagi tak diketahui namanya.
Komandan Peleton Letda Agus Hernoto tertembak di kedua kakinya dan ditawan Belanda.
Sedangkan PU II Pardjo, kaki kanannya tertembak namun dengan sisa tenaganya berusah menyelinap.
Setelah Belanda pergi, Pardjo berusaha merangkak, karena tak sanggup berdiri, menuju tempat temannya yang gugur.
Dia hanya sanggup berdoa dan tetap bertahan hidup di situ sekitar lima hari, di antara mayat teman-temannya yang mulai membusuk.
Untungnya, secara kebetulan beberapa orang Papua lewat. Melihat Pardjo yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat.
Setelah beberapa hari dirawat, ia digotong lagi menyusuri pantai menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak dan memperoleh perawatan medis sebelum ditahan.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari