Penulis
Intisari-online.com -Provinsi Papua Barat pada 1 Desember lalu menyatakan jika mereka merdeka dari Indonesia.
Benny Wenda selanjutnya menunjuk dirinya dan mengklaim jika dirinya adalah presiden Papua Barat.
Sebenarnya apa yang mendasari konflik di Papua Barat?
Rupanya, ada fakta mengerikan jika konflik tersebut mendapat suntikan dana dari negara-negara Barat.
Mengutip Asia Pacific Report, para pegiat di webinar global yang diselenggarakan oleh TAPOL meminta kepada negara Barat untuk berhenti mendanai pelatihan militer.
Negara Barat yang dimaksud adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat dan sekutu mereka.
Sementara itu, dana diterima oleh pasukan keamanan Indonesia.
Artinya para pasukan yang dikirim ke Papua mendapat suntikan dana dari negara Barat.
Rosa Moiwend, anggota Penolakan Perang Internasional, mengatakan warga Papua Barat hanya ingin hidup damai tanpa ada tekanan dari militer.
Pasukan keamanan Indonesia disebut-sebut "membunuh warga Papua Barat yang tidak bersalah."
"Jika pemerintahanmu berada di balik skenario ini, kurasa hal utama yang harus kalian lakukan adalah pergi berbicara dengan pemerintah Anda, anggota Parlemen lalu tanyakan mengenai uang pajak Anda," ujar Moiwend.
"Ke mana perginya uang pajak? Apakah itu digunakan untuk membiayai perang atau digunakan untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik?
Kondisi yang disebutkan sedikit mirip dengan berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Pelanggaran HAM juga disebutkan terjadi di Aceh, Timor Leste dan Papua Barat.
Sementara itu TNI menampik klaim jika mereka lakukan penembakan terhadap warga sipil Papua.
Salah satunya adalah laporan operasi militer di wilayah Nduga yang dikabarkan oleh Kapolda Papua jika hal itu tidak benar.
Namun, Yones Douw, kepala departemen hukum dan kedamaian di Gereja KIMI mengatakan kekerasan tidak pernah berhenti sejak Indonesia menjadi negara yang memiliki Papua Barat.
"Kekerasan tidak berubah sejak 1961 ke 1969, 1969 ke 2020, dan 2020, saat otonomi khusus dideklarasikan di sini di Papua Barat, sampai sekarang kekerasan terus terjadi," ujar Douw.
Douw, aktivis HAM, mengatakan jika ketika pemerintah pusat mengenalkan otonomi khusus, Jakarta mengatakan jika Papua Barat akan mandiri 90%.
Namun ia mengklaim yang terjadi adalah lebih banyak kekerasan.
Ia juga mengatakan bahayanya bagi warga Papua Barat, bisa dicap sebagai agen separatis kapan saja.
"Kenapa kekerasan meningkat seperti ini, jawabannya karena jika Anda pastor yang berbicara mengenai penderitaannya, ia akan disebut separatis, siapapun yang membahas HAM akan disebut separatis, siapapun yang bicara mengenai kesejahteraan warga Papua akan disebut separatis," jelasnya.
Ia menjelaskan hukum Indonesia yang memperbolehkan kebebasan berekspresi tidak berlaku di Papua Barat.
Bahkan jurnalis, aktivis HAM dan beberapa pemimpin gereja tidak dapat bekerja tanpa rasa takut.
"Di sini anak-anak remaja bisa ditembak kapan saja."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini