Intisari-online.com -Pemerintahan Myanmar mengalami kudeta oleh militernya sendiri.
Kudeta dilaksanakan dengan dalih adanya kecurangan pemilu November 2020 lalu, yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi dan partainya.
Militer Myanmar yang kuat telah mengambil kembali kendali negara itu dalam kudeta dan mengumumkan keadaan darurat.
Sebelumnya pihak militer telah menahan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin senior pemerintah lainnya dalam penggerebekan dini Senin (2/1/2021) melansir CNN.
Terjadi pemadaman jaringan komunikasi yang luas, bank-bank ditutup, dan tentara berseragam berpatroli di jalan-jalan kota terbesar Myanmar, Yangon.
Warga yang menyalakan televisi hanya dapat mengakses saluran TV Myawaddy milik militer.
Sementara semua saluran berita lain tampaknya diblokir.
Ancaman kudeta militer ternyata juga terjadi di sejumlah negara belum lama ini.
Berikut beberapa negara yang mengalami tantangan dari pihak militer atas pemerintahannya sejak 2019.
1. Myanmar
Kudeta militer yang kini terjadi di Myanmar kembali mengancam proses demokrasi yang baru dicecap negara ini kurang lebih satu dekade terakhir.
Sebelumnya, hampir 50 tahun negara ini berada di dalam pemerintahan militer.
Demokrasi yang “baru lahir” kemudian diatur di bawah konstitusi yang dibuat oleh junta, yang menentukan pembagian kekuasaan antara administrasi sipil dan jenderal negara.
Namun ketakutan meningkat setelah panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing tampaknya menggemakan sentimen kudeta.
Pada Rabu (27/1/2021), dia mengatakan konstitusi negara dapat "dicabut" dalam keadaan tertentu.
Selama berminggu-minggu, militer Myanmar menuduh terjadinya penyimpangan yang luas dalam pemilihan umum November 2020.
Padahal Komisi Pemilihan Myanmar telah menyatakan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak atas partai militer dengan penguasaan lebih dari 80 persen kursi parlemen.
Seruannya untuk verifikasi daftar pemilih meningkat minggu lalu.
Juru bicara militer mulai “mengancam” pengambilalihan militer untuk menangani apa yang disebut mereka sebagai krisis politik.
2. Mali
Pada Agustus 2020, Tentara Mali berhasil menggulingkan Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita.
Pihak militer mengklaim hal itu dilakukan untuk mencegah negara, yang wilayahnya membentang hingga gurun sahara itu, jatuh lebih jauh ke dalam kekacauan.
Mereka mengatakan berencana untuk membentuk pemerintahan transisi sipil dan mengadakan pemilihan baru.
Keita mengundurkan diri dalam pidato singkat di televisi pemerintah dengan mengatakan "saya tidak ingin darah tumpah untuk membuat saya tetap berkuasa.
DK PBB mendesak pembebasan presiden dan para pejabatnya, sementara Uni Afrika memilih menangguhkan Mali.
Mali memang juga sering mengalami beberapa kali pengambilalihan militer, saat ini mereka berjuang menahan gelombang serangan kelompok ekstremis dan kekerasan etnis.
Keita sendiri sudah memasuki masa jabatan kedua dalam pemilu 2018, tapi ia sudah menghadapi protes jalanan besar-besaran.
3. Bolivia
Sejumlah media mainstream memilih “berhati-hati” melaporkan perubahan politik di Bolivia pada 2019. Namun Guardian pada Rabu (13/11/2019) dalam laporannya secara tegas menyatakan terjadi kudeta militer di Bolivia.
Laporan Guardian menunjukkan ada kecurigaan di mana presiden Bolivia Evo Morales mengundurkan diri hanya setelah ia ditekan untuk melakukannya oleh militer.
Morales sendiri tiba-tiba mengundurkan diri beberapa menit setelah mendapatkan pesan dari kepala militer Bolivia.
Sebelum “dijatuhkan”, pemerintahan Morales dituding melakukan kecurangan pada pemilihan 20 Oktober 2019. Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh Organization of American States (OAS) dalam auditnya yang merekomendasikan adanya pemungutan suara ulang.
Morales menerima temuan ini, dan segera menyerukan pemilihan baru. Namun dalam minggu-minggu setelah 20 Oktober, tuntutan utama berubah dari pemilihan baru menjadi pengunduran diri Morales.
Menurut laporan Guardian, tidak seperti semua aktor lain di Bolivia, ketika militer "menyarankan" Morales meninggalkan jabatannya, dia tidak punya pilihan selain mengatakan ya.
Sebab pemerintahannya akan menghadapi risiko kekerasan yang luar biasa.
Ironisnya, setelah “kejatuhan” Morales peristiwa beberapa hari selanjutnya menunjukkan, “kudeta” tidak akan mengakhiri kekerasan dan kekacauan yang melanda Bolivia.
4. Sudan
Presiden Sudan Omar al-Bashir digulingkan dan ditangkap oleh militer setelah hampir 30 tahun berkuasa, pada April 2019.
Menurutnya negara telah menderita dari "manajemen yang buruk, korupsi, dan tidak adanya keadilan". Dia juga meminta maaf "atas pembunuhan dan kekerasan yang terjadi".
Tentara sejak itu akan mengawasi masa transisi dua tahun yang diikuti dengan pemilihan umum. Dia juga mengatakan keadaan darurat tiga bulan sedang diberlakukan.
Presiden Omar al-Bashir telah ditahan di Khartoum, Sudan 11 April 2019. Namun tidak jelas apa yang akan terjadi padanya setelah penangkapannya.
Menurut BBC, kudeta militer di Sudan terjadi tanpa arah yang jelas tentang bagaimana para jenderal berencana untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Ketakutannya adalah mereka tidak memiliki niat seperti itu.
Kudeta yang dilakukan elite keamanan disebut memproyeksi, kejatuhan Omar al-Bashir dan pemberlakuan jam malam akan memberi mereka waktu dan mengakhiri protes berkepanjangan di negara itu.
5. Gabon
Pemerintah Gabon akhirnya mengumumkan kondisi negara sudah terkendali menyusul percobaan kudeta yang dilancarkan pasukan militernya pada awal tahun 2019.
Sebelumnya, lima tentara dilaporkan menguasai stasiun radio nasional pada pukul 04:30 waktu setempat. Mereka membacakan pernyataan singkat yang mengumumkan "Dewan Restorasi Nasional".
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, terlihat tiga tentara muda di studio radio mengenakan seragam militer dan memegang senjata.
Para pemberontak meminta tentara mengendalikan sistem transportasi, cadangan amunisi dan bandara "untuk kepentingan bangsa".
Juru bicara pemerintah, Bertrand Mapangou, menyatakan pihak berwenang telah menangkap kelima pemberontak yang mencoba untuk mengambil alih pemerintahan.
Dilaporkan oleh BBC, para perwira yunior mengklaim mereka merebut kekuasaan "untuk memulihkan demokrasi" di Gabon yang kaya minyak.
Mapangou mengatakan bahwa para jenderal militer, masyarakat sipil dan pemimpin oposisi yang disebutkan dalam pernyataan pemberontak sebagai pendukung potensial akan diselidiki.
Pemimpin Gabon ketika itu, Ali Bongo menggantikan ayahnya Omar Bongo sebagai presiden pada 2009. Dia memenangkan pemilihan ulang pada tahun 2016 dalam sebuah jajak pendapat yang dirusak oleh kekerasan dan tuduhan penipuan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini