Intisari-online.com - Sudah bukan rahasia jika warga Jepang mendapat perlakuan istimewa dibandingkan warga China di Amerika Serikat.
Banyak warga AS yang lebih suka dengan ras Jepang daripada ras China, tunjukkan bagaimana perlakuan publik terhadap sosial budaya yang dipengaruhi oleh geopolitik.
Sejak akhir Perang Dunia II dan pengecualian di tahun 1980-an ketika ekonomi Jepang dilihat sebagai ancaman, publik AS telah memiliki pandangan serba positif terhadap budaya, politik, dan masyarakat Jepang.
Sebaliknya, pandangan publik terhadap China telah terus-terusan negatif, dan sentimen anti-China telah meningkat sejak pandemi Covid-19.
Sering kali baurnya pandangan AS terhadap dua negara ini telah mengubah cara berpolitik AS.
Semakin ke sini pemimpin China semakin tidak dipercaya oleh AS, demikian pula untuk pemimpin Jepang terkadang diberikan terlalu banyak kepercayaan yang berlebihan.
Padahal, dalam urusan diplomatik diperlukan sikap obyektif.
Lebih-lebih untuk menjaga stabilitas regional.
Melansir sebuah artikel opini milik Su-Mei Ooi di The Diplomat, menurutnya pandangan positif publik AS terhadap AS berkaitan besar dengan keabaian mereka.
Banyak murid sekolah tidak tahu mengenai pembantaian massal warga Asia oleh Jepang di Perang Dunia II.
Banyak yang menyesali kurikulum sejarah sekolah mereka memperhalus sejarah kelam dunia tersebut atau mengabaikannya.
Kekejaman yang dilakukan pemerintah kolonial Jepang di Korea dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Pasifik pada khususnya.
Tidaklah heran baurnya pandangan ini dimanfaatkan oleh mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang segera menemui Presiden Donald Trump setelah ia dilantik menjadi presiden.
Abe menjadi pemimpin dunia pertama yang melakukannya, sampai Abe dipuji oleh Steve Bannon sebagai "Trump sebelum Trump".
Setelah itu hubungan AS-Jepang tampak lebih kuat daripada sebelumnya, dan sebagian besar hal ini dilihat sebagai pandangan positif.
Sebagian besar warga Amerika mulai berpikir jika Jepang telah menjadi satu sekutu terpenting di wilayah tersebut, dan dengan kebangkitan China, peran persekutuan ini makin penting.
Tidak ada yang menyadari ketertarikan Abe terhadap administrasi Trump sebenarnya karena elemen sayap kanan.
Sedikit sekali yang tahu, Shinzo Abe adalah anggota kelompok ultra-nasionalis Nippon Kaigi.
Nippon Kaigi adalah pasukan di pemerintahan dan politik Jepang yang terbentuk dan terus tumbuh sejak 1990-an.
Sayangnya Nippon Kaigi tidak pernah tersorot oleh media AS sampai sekarang, dan sebagian besar, warga AS tampaknya benar-benar tidak tahu arti keselarasan ideologis antara pemerintah Abe dan Trump, karena hanya sedikit yang mendapat pemahaman lengkap perang ideologis Perang Pasifik dan siapa sebenarnya Nippon Kaigi.
Sepotong opini New York Times tahun 2014 yang disumbangkan oleh Norihiro Kato menempatkan posisi mereka secara ringkas, yang percaya "Jepang harus dipuji karena telah membebaskan sebagian besar Asia Timur dari kekuatan kolonial Barat, serta pengadilan Kejahatan Perang Tokyo 1946-1948 tidak sah dan pembunuhan oleh pasukan Kekaisaran Jepang selama pembantaian Nanjing 1937 hanya dibuat-buat."
Banyak warga AS juga tidak sadar akan fakta jika adanya pandangan tersembunyi mengenai anti-Amerika di bawah nasionalisme Jepang yang baru.
Artikel 9 dari Konstitusi Jepang posisi paling kanan menjlaskan keharusan mempermalukan AS dan Jepang harus lebih asertif terhadap hubungan keamanan mereka sendiri.
Fakta jika pertemanan Trump-Abe menjadi tamparan wajah demokrasi liberal yang selalu ada di posisi paling kanan di militer telah menjadi kekalahan untuk sebagian besar publik AS.
Hal ini tentunya tidak meningkatkan kepentingan AS.
Penolakan AS untuk memahami sejarah bermasalah dari Jepang dan hubungannya terhadap tren politik saat ini serta kontroversi yang terjadi merupakan bagian integral dalam penerimaan masyarakat.
Anggapannya, Jepang adalah negara demokrasi liberal dan pemimpinnya tidak melakukan kesalahan apapun.
Contohnya, sepertinya tidak masalah jika pemerintah Jepang mulai mempersenjatai perdagangan dengan Korea Selatan karena masalah sejarah.
Mereka gagal memahaami jika hubungan bilateral dua negara yang menjadi sekutu terpenting AS di wilayah tersebut.
Politik dengan Korea Selatan ini terus berlanjut meskipun Shinzo Abe sudah tidak menjadi perdana menteri.
Itulah sebabnya, media berita AS jarang sekali memahami tren di politik Jepang, tidak peduli betapa mengerikannya, sementara apapun yang terjadi di China senantiasa diperhatikan.
Pandangan yang muncul adalah China akan bangkit dan menghancurkan AS, padahal, Jepang juga berniat melakukan hal yang sama.
Konflik Laut China Selatan pun dipandang AS sebagai cara China untuk menguasai dunia, tidak ada yang melihat kemungkinan pemimpin China menakuti kebangkitan pemimpin ultranasionalis Jepang yang ingin menguasai dunia, lagi.
Hal ini juga diperparah dengan administrasi baru dari Biden yang juga akan keras terhadap China, alih-alih memikirkan bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan baik lagi.
Jepang memang terlihat negara yang indah dan 'tidak berbahaya' tapi sesungguhnya kepemimpinan nasionalis telah mengancam demokrasi Jepang dan mereka sudah sedemikian rupa mengancamnya bagi China dan Korea Selatan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini