Penulis
Intisari-online.com -Dalam perang, tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menjadi kenyataan yang harus dihadapi sehari-hari.
Banyak yang terlibat dalam perang tercatat melakukan berbagai aksi keji.
Salah satunya yang terjadi di Teater Pasifik Perang Dunia II ini.
Teater Pasifik di Perang Dunia II dikuasai oleh Kekaisaran Jepang, yang berniat menyatukan seluruh Asia di bawah tangan besi Kaisar Hirohito.
Teater Pasifik itu disebut juga sebagai Perang Asia Timur Raya.
Jepang yang masih berbentuk kekaisaran waktu itu berusaha menduduki semua negara Asia lain.
Utamanya adalah dua negara tetangganya, China dan Korea Selatan.
Penjajahan di dua negara itu tak kalah keji layaknya penjajahan Jepang di Indonesia waktu itu.
Tercatat ada satu tragedi yang sangat mengerikan dengan korbannya adalah warga China.
Tragedi itu bernama tragedi Nanking, saat rakyat China di wilayah yang sekarang menjadi ibukota China mengalami penyiksaan, rudapaksa dan dibunuh.
Korbannya tidak sedikit, bahkan tergolong sangat banyak.
Tragedi Nanking atau Pembantaian Nanjing adalah sebuah peristiwa yang mengikuti perang antara China dan Jepang yang kedua.
Baca Juga: Pembantaian Nanking: 'Neraka' Sementara Buatan Tentara Jepang di China
Perang itu merupakan konflik berdarah antara Jepang dan Republik China dari 1937 sampai 1945.
Ketegangan antara dua negara selalu tinggi karena politik dan keyakinan yang tidak pernah bisa sama.
Disebut juga sebagai Perang Sino-Jepang Kedua, beberapa foto dari perang itu buktikan jika Jepang terbilang sukses mengembangkan militer mererka.
Jepang berhasil menduduki Nanjing tahun 1937, yang kala itu menjadi ibukota China, kemudian Jepang dengan cepat menyebar di seluruh teritori musuh dengan rencaana menaklukan sebanyak mungkin wilayah.
Tentara Jepang diberi tugas untuk mengalahkan kota dan warganya, yang membuat pembantaian massal warga China, dari bayi sampai lansia.
Pemerintah China melarang warga melarikan diri saat Jepang mendekat
Jepang memusatkan perhatiannya ke Nanjing setelah menangkap Shanghai dalam pertempuran yang brutal.
Pemerintah China takut kehilangan pasukannya dalam pertempuran langsung melawan Jepang, sehingga hampir semua pasukan ditarik dari Nanjing, kecuali untuk "pasukan yang tidak terlatih".
Warga China tahu jika pasukan Jepang datang, tapi pemerintah tidak membiarkan mereka dievakuasi, sampai saat Jepang sudah mendarat ada kurang lebih 500 ribu orang tetap berada di Nanjing.
Eksekusi massal
Hubert Sone adalah misionaris metodis di China saat Tragedi Nanjing terjadi pada Desember 1937.
Ia mendokumentasikan kengerian yang ia saksikan saat Jepang menyerbu kota di hari pertama.
Dikutip dari ranker.com, Sone menulis "tentara Jepang datang ke kota dalam jumlah besar pada Senin, 13 Desember.
"Banyak warga dibunuh ditempat atau disayat.
"Semua yang lari atau takut melihat pasukan Jepang segera ditembak."
Sone juga menuliskan eksekusi massal yang ia saksikan beberapa minggu berikutnya:
"Mereka menembak dan menyayat di tempat tanpa bertanya siapapun yang mereka anggap sebagai tentara.
"Hasilnya, sejumlah besar warga tewas tertembak, bahkan meskipun mereka sudah mengenakan pakaian warga sipil. […] Jalanan dipenuhi oleh orang mati.
Namun kengerian tidak berhenti di situ saja.
Saat pasukan Jepang menyapu jalanan kota, tidak ada yang aman, terutama wanita China.
Tentara Jepang masuki rumah satu persatu, mencari tentara China untuk dieksekusi.
Kapanpun mereka temukan wanita, mereka kemudian langsung merudapaksa wanita itu dan beberapa kali membunuhnya.
Tentara Jepang membunuh wanita China dengan sejumlah cara yang mengerikan.
Beberapa caranya adalah memasukkan bayonet atau pisau belati ke dalam vagina mereka, bisa juga menggunakan bambu untuk dimasukkan secara paksa ke organ vital tersebut.
Yang lainnya ditangkap dan dijadikan budak seks.
Pemerkosaan geng dan pembunuhan brutal menyebar luas di Nanjing.
Wanita-wanita hamil ditusuk di perut mereka, beberapa dipotong payudaranya, dan lainnya dipaku ke tembok saat mereka masih hidup.
Sementara itu nasib anak kecil di Nanjing juga lebih mengerikan lagi.
Beberapa dipukuli sampai mereka cedera seumur hidup, kehilangan penglihatan atau anggota badan, sementara yang lain ditembak atau ditikam sampai mati setelah ibu mereka diperkosa dan dibunuh.
Gadis berumur 13 tahun dirudapaksa ramai-ramai, dan bayi-bayi dilempar ke udara serta disayat untuk kesenangan mereka.
Jepang juga mengeksekusi ribuan warga dan melempar mayat mereka dalam pemakaman massal, sementara tahanan China dikubur hidup-hidup dengan dipaksa masuk ke lubang lalu ditimbun dengan tanah.
Lebih mengerikan lagi, diperlukan hampir 60 tahun bagi Jepang untuk meminta maaf secara formal kepada China.
Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang, meminta maaf atas aksi Jepang di China, tapi permintaan maaf yang ia ajukan bukanlah permintaan maaf langsung, membuat marah sebagian warga China.
Media pemerintah China, Xinhua, menuliskan:
"Alih-alih menawarkan permintaan maaf, pernyataan Abe penuh dengan retorika seperti 'mempertahankan posisi permintaan maaf kami', sebuah hadiah mati dari revisionisme historisnya yang mengakar, yang telah menghantui hubungan lingkungan Jepang."
Tragedi Nanking atau Nanjing terus menjadi salah satu peristiwa paling formatif dalam hubungan antara Jepang dan sebagian besar Asia Timur.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini