Penulis
Intisari-Online.com - Jepang merupakan salah satu pemilik militer paling kuat di dunia.
Namun, keberadaan militer Jepang sendiri hanya untuk bertahan, dan dilarang untuk ikut beperang atau menyerang.
Itu adalah dampak dari kekalahannya dalam Perang Dunia II, di mana AS sebagai pihak yang menang kemudian membuat dan memberlakukan konstitusi yang mengatur hal tersebut.
Terlepas dari aturan tersebut, Jepang kemudian mendirikan Pasukan Bela Diri (SDF) pada tahun 1954, menjadikannya salah satu angkatan bersenjata paling maju di dunia.
Pemerintah Jepang dapat melakukan hal itu dengan alasan bahwa karena tujuan eksklusif SDF bersifat defensif atau bertahan.
Termasuk keputusan sadar untuk tidak memperoleh persenjataan yang berorientasi pada pelanggaran, SDF tidak melanggar larangan "potensi perang".
Meski dii dalam negeri, SDF bukanlah militer. Tetapi bagi semua orang di luar Jepang, SDF adalah militer.
Kini, militer Jepang menduduki peringkat ke-5 untuk kekuatan militernya, bahkan disebut telah menjadi lebih kuat dibanding 7 dekade lalu, yaitu saat menyerang armada Angkatan Laut AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Seperti diketahui, serangan Jepang di Pearl Harbor itulah yang memicu keterlibatan AS secara langsung dalam Perang Dunia II.
Lalu, bagaimana kekuatan militer Jepang mengalami peningkatan yang demikian?
Melansir cnn.com (7/12/2016), Tujuh puluh lima tahun setelah Jepang melancarkan salah satu serangan angkatan laut paling dahsyat dalam sejarah terhadap armada AS di Pearl Harbor, negara itu kembali memantapkan dirinya sebagai salah satu kekuatan militer terdepan di dunia, kata para ahli.
Kebangkitan terjadi meskipun konstitusi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II yang membatasi pasukan negara hanya untuk tujuan pertahanan.
Justru para ahli mengatakan bahwa faktanya pembatasan dari konsitusi itulah yang telah membanti militer Jepang lebih kuat daripada sebelumnya.
"Pilot untuk pilot, kapal untuk kapal, Jepang dapat berdiri sendiri dengan siapa saja," kata John T. Kuehn, seorang profesor sejarah militer di Sekolah Staf Umum dan Komando Angkatan Darat AS.
Dan itu mencapai ini dengan anggaran militer yang hanya sebagian kecil dari kekuatan lain.
Kuehn tidak sendirian di antara pengamat yang menilai angkatan laut Jepang, yang dikenal sebagai Pasukan Bela Diri Maritim Jepang, termasuk lima besar angkatan laut di dunia.
Baca Juga: India Makin Was-was, China-Pakistan Makin Mesra, Kekuatan Militer China di Ladakh Makin Perkasa
Kyle Mizokami, editor blog Japan Security Watch dan kontributor US Naval Institute News, mengatakan aliansi Jepang dengan AS yang membuatnya menjadi kekuatan yang luar biasa pada tahun 2016.
"Amerika Serikat dan Jepang adalah dua kekuatan militer terdekat di dunia saat ini. Mereka bahkan lebih dekat daripada AS dan Inggris," kata Mizokami melalui email kepada CNN.
"Mereka berlatih bersama setiap hari, dan ada latihan militer besar di udara, darat dan laut hampir setiap minggu," kata Mizokami.
Kuehn mengatakan, kehadiran teknologi AS seperti sistem anti-rudal Aegis berbasis kapal, yang dapat menembak jatuh rudal balistik, di armada Jepang membuat kekuatan itu sulit dilawan.
"Angkatan laut (Jepang) dalam aliansi dengan Angkatan Laut Amerika Serikat membuat kombinasi kemenangan dalam pikiran saya," kata Kuehn, mantan penerbang angkatan laut AS dan penulis buku "A Military History of Japan: From the Age of the Samurai to the abad ke 21."
Konstitusi anti-perang yang diberlakukan AS yang dialami Jepang setelah Perang Dunia II mungkin telah membantu Jepang mengumpulkan militer yang mungkin lebih kuat daripada yang menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, kata beberapa analis.
Hal itu karena Tokyo telah hanya harus fokus pada kemampuan bertahan dan tidak menghabiskan uang untuk kemampuan ofensif.
Kekuatan kapal selam Jepang adalah contoh utama bagaimana ini bekerja, Corey Wallace, analis keamanan Jepang di Freie University di Berlin, mengatakan dalam email ke CNN.
"Pemerintah Jepang sejak 1950-an telah dengan hati-hati berinvestasi dalam program kapal selamnya dan pada dasarnya menyempurnakan tidak hanya teknologi tetapi juga proses pengadaannya," katanya.
Tidak seperti kapal selam serang Angkatan Laut AS, yang membawa rudal untuk menyerang target di darat, Jepang secara ketat memfokuskan perhatian mereka di laut, memungkinkan mereka untuk menekan biaya dan kompleksitas.
Dalam Perang Dunia II, Jepang hanya sekejap merengkuh kemenangan setelah mengebom Pearl Harbour.
Ketika itu, Jepang sempat melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara, namun kemenangannya di kawasan tersebut tak bertahan lama.
Jepang kalah di Kepulauan Mariana hingga Filipina, dikutip Kompas.com.
Sejak 1943, posisi Jepang makin terdesak. Blok Poros kalah dalam berbagai pertempuran melawan Blok Sekutu.
Pada 1943, Sekutu membuat rencana pengepungan Jepang. Untuk bisa mengepung Jepang, Sekutu harus melancarkan serangan dari selatan dan tenggara, melalui Filipina, Mikronesia, dan Papua Niugini.
Filipina berhasil direbut Sekutu. Kemudian pada awal 1945, Sekutu menguasai merebut Iwo Jima dan Okinawa. Posisi Jepang makin lama makin terimpit.
Puncaknya pada 1945. AS menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima pada 6 Agustus. Kemudian menyusul bom ke kota Nagasaki pada 9 Agustus.
Akibat bom itu, Jepang lumpuh dan tak berdaya. Apalagi, pada 8 Agustus, Uni Soviet juga menyatakan memulai perang dengan Jepang.
Pada 10 Agustus 1945, pemerintah Jepang pun menyerah dengan wilayahnya porak-poranda akibat bom atom yang dijatuhkan AS.
Setelah terikat konstitusi yang melarangnya berperang, kemudian pada bulan Januari 1960, Jepang bersama AS juga menandatangani perjanjian keamanan yang mengikat AS untuk membela Jepang jika terjadi serangan, tetapi tidak mewajibkan Jepang untuk membela AS.
Kedua belah pihak juga menandatangani Perjanjian Status Pasukan yang menyebutkan Jepang bertanggung jawab untuk menerima pangkalan militer AS.
Itulah bagaimana kini angkatan bersenjata Jepang dan AS berlatih bersama setiap hari dan menjadi aliansi yang kuat.
Meski untuk hal itu, Jepang secara rutin membiayai angkatan bersenjata AS yang bermarkas di wilayahnya, secara resmi disepakati tahun 1987.
Seperti dalam anggaran tahun fiskal 2020, sebanyak ¥ 199 miliar (sekitar Rp 21,1 Triliun) dihabiskan untuk pembiayaan yang disebut sebagai 'dukungan negara tuan rumah' tersebut.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari